Minggu, 25 Januari 2015

KISAH TAK SEMPURNA

Bagian 1

Kisah Tak Sempurna (Bag. 1)
“Maafkan aku. Aku mencintaimu namun tidak seperti itu. Aku mencintaimu seperti aku mencintai kakakku. Aku tidak mencintaimu sebagai pacar.” Jawabnya menundukkan kepala.
Ucapannya terasa seperti pisau yang langsung menyayat hatiku. Aku berdiri terpaku didepan pintu rumahnya setelah aku mengajaknya nonton film dan makan malam. Kutatap wajah manisnya. Kutatap dia lekat-lekat. Aku tidak percaya apa yang baru saja dia ucapkan.
“Aku fikir kau mencintaiku Lila. Aku fikir kau—“ Aku tidak sangup lagi berkata-kata. Dia telah memberikanku harapan palsu. Setelah semua, dia masih mencintai Bima.
Dia mendesah pelan dan memalingkan muka. “Kau bisa mencari seseorang yang lebih sempurna daripada aku.” Ucapnya. “Aku tidak pantas untukmu.”
“Aku tidak mencari kesempurnaan. Aku mencintai kamu apa adanya.” Bujukku. Mengapa ini begitu sulit untuk meyakinkan hatinya. Seperti berusaha menjebol dinding beton.
“Tidak.” Jawabnya menggelengkan kepala masih tidak menatapku.
 “Tolong katakan sekali lagi kau tidak mencintaiku.” Ucapku meraih tangannya. Dia mendesah tetap tidak melihat mataku. “Tatap mataku dan katakan bahwa kau tidak mencintaiku.” Tuntutku lagi.
Dengan perlahan-lahan Lila menatapku kemudian menangis. Airmata jatuh dari mata indahnya. Aku tidak mengerti mengapa dia menangis. Seharusnya yang menangis disini adalah aku, bukan dia. Ingin rasanya aku mencium kedua matanya seperti saat dia tertidur menangis dulu.
Dia menarik tangannya dari genggaman tanganku dengan tegas. “Tolong, jangan paksa aku untuk mencintaimu. Karena aku tidak mencintaimu.” Bisiknya.
Kata-katanya begitu dalam menusuk hatiku, hilang sudah kepercayaan hatiku bahwa dia mencintaiku. Hatinya memang bukan untukku. Hilang sudah keinginanku untuk memenangkan hatinya.
Dipejamkan kedua matanya erat-erat. Hanya airmata yang dia berikan kepadaku. Dibuka mulutnya namun ditutup kembali, seolah-olah dia berat untuk berkata-kata. Kuulurkan kedua tanganku mengusap airmata yang jatuh dipipinya.
“Aku tidak apa-apa.” Bisikku. “Aku bisa menerima jika kau hanya ingin aku menjadi temanmu. Kita bisa berteman seperti biasa.”
Harus aku akui kalau aku tidak bisa jauh darinya. Harus aku akui kalau aku tidak bisa membencinya. Perlahan-lahan dia membuka mata indahnya. Menatapku dengan sedih. Kedua tangannya yang mungil mendorong dadaku pelan. Membuatku mundur selangkah. Dengan refleks kuraih kedua tangan kecilnya.
“Hey. Untuk apa itu?” Tanyaku lembut berusaha untuk tidak marah padanya.
Dia menundukkan kepala. “Kita tidak bisa berteman.” Jawabnya pelan.
“Apa?!”
Apa maksudnya kita tidak bisa lagi berteman? apakah dia ingin aku menjauh darinya? Aku tidak bisa melakukan itu.
“Lepaskan tanganku. Kau menyakitiku.” Ucapnya dengan merintih.
Aku tidak menyadari bahwa aku menggenggam kedua pergelangan tangannya dengan erat. Kutarik nafas dalam-dalam. Perlahan aku melepaskan cengkeramanku.
“Maafkan aku. Apakah kau terluka?” Kataku dengan panik. Bagaimana bisa aku menyakitinya? Bodoh. Kau sangat bodoh Arjuna.
Dia menggeleng kepala pelan. Mengusap pelan pergelangan tangannya, dia menatapku. Arimata mulai terbentuk dari mata indahnya. “Kita tidak bisa berteman.”
Kutarik nafasku dengan berat. Dia selalu membuat ini menjadi begitu sulit.
“Berikan aku alasan kenapa kita tidak bisa berteman? berikan aku alasan yang membuatku mengerti.” Kataku berusaha untuk tidak marah padanya.
Lila menatapku dengan sedih. Airmata masih menggenang dimata indahnya. Digelengkannya kepala dengan pelan. “Karena aku tidak ingin kau masih berharap.”
Aku tertawa hambar padanya. “Apakah kau masih mencintai Bima?”
“Jangan membawa-bawa Bima dalam hal ini.” Ucapnya datar namun tiba-tiba wajahnya menjadi bersalah. “Maafkan aku. Aku tidak bisa mencintaimu. Tolong kau mengerti.”
Kupejamkan mataku dan menghela nafas dengan berat. “Aku mengerti. Aku mengerti kalau kau tidak mencintaiku.”
“Semua sudah selesai. Kita bisa menjalani hidup kita masing-masing sama seperti saat kita belum bertemu sebelumnya.” Ucapnya tersenyum sedih.
Aku jatuh berlutut didepannya memohon. Sekali lagi untuk meyakinkannya agar bisa merubah jalan fikirannya. Matanya melebar karena terkejut.
“Tolong Lila. Tidak bisakah kau merubah fikiranmu?” Pintaku.
Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Dia menggelengkan kepala sebagai jawaban dari permintaanku.
Sekuat tenaga aku berdiri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak jatuh didepannya. Sia-sia aku berusaha meyakinkannya. Sia-sia aku berusaha merebut hatinya. Kuhirup nafas dalam-dalam. Sekali lagi kutatap mata indahnya. Beginilah aku akan mengingatnya. Beginilah aku akan mencintainya. Aku tidak akan berhenti mencintainya sampai kapanpun. Tidak akan pernah berhenti untuk menyayanginya. Tidak akan pernah berhenti untuk merindukannya disetiap kesendirianku.
“Baiklah.” Kataku menatapnya dengan sungguh-sungguh dan sakit hati.
Kutatap lagi wajahnya. Matanya, pipinya, hidungnya, bibirnya dan rambutnya. Semua darinya menunjukkan keindahan bagiku. Kuulurkan kedua tanganku menyentuh kedua pipinya yang basah oleh airmata. Kuusap dengan perlahan airmatanya. Dipejamkan kedua matanya dan dia mendesah terdengar sedih.
I can’t stop loving you until the end.” Kataku pelan kemudian melangkah pergi menjauh darinya dan tidak melihat kebelakang lagi.
Aku berjalan cepat menuju mobil yang ku parkir di depan gang rumah sewaannya. Kuputar musik cadas dengan suara keras melalui Ipod yang aku hubungkan ke tape di mobilku. Berusaha untuk menjauhkan bayangan wajahnya dalam pikiranku. Kukendarai sedan BMW hitamku pulang kerumah dengan kecepatan penuh. Beruntung malam ini jalan-jalan begitu lengang.
Aku menaiki tangga menuju ke kamarku setelah aku tiba dirumah. Dengan tergesa-gesa aku memasuki kamar. Kubuka lemari pakaian dengan kasar kemudian menarik keluar beberapa koper besar yang kumiliki. Kumasukkan semua pakaianku ke koper dengan terburu-buru. Perkataannya tadi masih terngiang di pikiranku. Semua sudah selesai. Kita bisa menjalani hidup kita masing-masing sama seperti saat kita belum bertemu sebelumnya. Aku akan melakukannya dengan segera jika itu yang Lila mau. Aku akan melakukannya sekarang juga. Lagipula aku tidak bisa berdiri disini melihat Lila dengan orang lain. Jika aku tidak bisa mendapatkan Lila maka aku harus pergi sejauh mungkin dan tidak akan kembali.
“Kakak?” adikku Sinta terbangun. Aku tidak menyadari Sinta tidur di kamarku.
“Sayang, Kau bangun? Maaf kakak membangunkanmu ya?” Ucapku kemudian berjalan menghampirinya, duduk dipinggir tempat tidur. Berusaha untuk bersikap baik padanya.
Dia mengusap matanya dengan kedua tangannya dan mengangguk. Saat dia tahu semua koperku penuh dengan pakaian dia menangis dengan keras.
“Kakak mau pergi? Kakak mau kemana?!” Tanyanya menangis.
Kutarik dia kedalam pangkuanku kemudian memeluknya. “Shhh…. Kakak cuma mau liburan.”
Tangisannya semakin keras mengetahui bahwa aku akan benar-benar pergi. Ayah dan Bunda memasuki kamarku.
“Ada apa sayang?” Bunda memandangku kemudian Sinta yang menangis dipangkuanku.
“Bunda!” teriaknya berjuang untuk turun dari tempat tidurku. Setelah aku menurunkannya, seketika itu pula dia berlari dan memeluk Bunda.
“Kau mau pergi kemana nak?” Tanya ayah, berjalan menghampiriku dan menepuk bahuku.
“Aku ingin liburan Yah. Aku akan pergi besok pagi.” Jawabku datar. Kalau bisa aku akan pergi sekarang. Namun mengetahui Sinta seperti itu, sulit bagiku untuk mengucapkan salam perpisahan padanya.
“Apakah dengan terburu-buru?” Tanya Ayah dengan heran. “Kau tidak ingin ikut pesta kelulusan?”
“Itu hanya pesta kelulusan.” Jawabku mengangkat bahu. “Setidaknya aku sudah tahu kalau aku sudah lulus.” Aku benar-benar tidak perduli lagi pada pesta kelulusan.
“Bisakah kau mengundurkan liburanmu? Setidaknya kau bisa datang untuk pesta kelulusanmu Juna.” Bujuk bunda.
“Aku tidak perduli bunda.  Aku benar-benar tidak perduli.” Kataku seraya merapikan pakaian di koperku.
Bunda tersenyum mengerti. “Baiklah jika itu yang kau mau.” kemudian berjalan keluar kamar bersama Sinta dalam gendongannya.
Ayah berjalan menghampiriku dan duduk di ujung tempat tidur.
“Apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu nak?” Tanyanya tanpa berbasa basi.
Aku hanya menggeleng kepala menutup koperku dan menjatuhkannya di lantai. Kulepas t-shirt putih yang kupakai, melemparkannya kesudut kamar tidak perduli. Kurebahkan tubuhku ditempat tidur. Aku masih memikirkan apa yang Lila ucapkan padaku. Apakah ada sesuatu yang dia rahasiakan padaku? Setiap kata-kata yang diucapkannya itu seakan menempel di kepalaku. Aku ingin sekali melupakan perkataannya. Namun tidak bisa. Isi kepalaku seolah-olah sudah penuh terisi akan perkataannya yang menyakitkan.
 “Kau tahu, saat ayah muda ambisi ayah sangat besar. Ayah akan melakukan segala cara agar keinginan ayah tercapai. Termasuk mendapatkan hati ibumu.” Ujar ayah. Aku mendengus tidak menanggapi, sudah tahu kemana arah pembicaraannya.
Ayahku tidak pernah bertele-tele dalam setiap perkataannya kepada siapapun. Termasuk kepada kami keluarganya. Jikalau bertele-tele berarti ada sesuatu yang ingin disampaikannya namun tidak ingin membuat orang yang mendengarkannya marah.
Aku melihat ayah berjalan kesudut kamar mengambil t-shirt yang kulempar tadi dan membuangnya kekeranjang pakaian kotor di kamar mandi yang berada tepat disamping tempat tidurku.
Sebelumnya aku menempati kamar dilantai satu. Kamar itu sangat besar membuatku merasa seperti sangat sendiri. Aku tidak menyukai kamar yang besar. Akhirnya kamarku dilantai satu ditempati Sinta. Aku menempati kamar dilantai dua ini yang seharusnya milik Sinta. Kamar ini setengah ukuran dari kamarku sebelumnya.
“Yah, apapun yang mengganjal pikiranmu, ayah hanya berharap kau tidak akan pernah menyerah.” Ujarnya saat aku tidak menanggapi ucapannya.
“Aku tahu.” Gumamku.
Ayah menepuk kakiku beberapa kali kemudian berjalan keluar kamar.
Kuacak-acak rambutku yang kini sudah panjang melewati bahu. Aku harap aku tidak menyerah. Aku harap aku bisa seperti ayah yang selalu punya ambisi yang besar. Ambisi yang bisa membuatnya sukses hingga sekarang. Mempunyai istri seperti bunda yang selalu mengerti dia. Mendukung ayah dalam keadaan apapun. Namun aku sudah menyerah. Aku sudah berusaha menarik perhatian Lila, tetapi dia memandangku berbeda. Kuusahakan memejamkan mataku. Melupakan Lila walau hanya beberapa jam saja.

Sinar matahari pagi menerobos melalui jendela kamar yang lupa aku tutup tadi malam. Dengan menyipitkan mata, aku bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan lurus ke kamar mandi membawa pakaian yang akan aku pakai yaitu kaos v-neck biru tua dan celana jeans kebanggaanku. Kupandangi wajahku sendiri dicermin kamar mandi. Diriku yang berbeda. Lingkaran hitam kecil dikedua kelopak bawah mataku yang tidak aku sadari kapan terjadi. Mataku yang merah. Aku mengangkat bahu tidak perduli. Toh nanti akan hilang sendiri. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku meraih jaket kulit cokelat muda yang ada dimeja belajarku kemudian berjalan keluar kamar menarik dua koper besar bersamaku.
Kupandangi kamarku sekali lagi sebelum menutup pintu. Lantai kamar dilapisi kayu yang terbuat dari jati. Tempat tidur ukuran king dengan warna senada dengan wallpaper abstrak yang berwarna cokelat bergradasi putih. Ruanganku memang didominasi dengan warna cokelat dan putih. Dua warna favoritku. Aku mendengus dan menutup pintu dengan kasar. Menuruni tangga dengan setengah berlari.
“Kemana kau akan pergi?” Tanya bunda saat membantuku menempatkan koper dibagasi mobil. Ini masih pagi. Aku sengaja memilih waktu pagi hari. Aku tidak ingin John atau Jenni datang mencariku. Aku tidak tahu harus berkata apa pada mereka.
“Inggris.” Kataku sambil mengangkat koper lain kedalam mobil.
Tanpa harus berbicara banyak pada orangtuaku, mereka sudah tahu kenapa sikapku begini.
“Kau tidak akan pernah memperkenalkan bunda pada temanmu itu? Gadis yang membuat kau berubah.” Tanyanya bunda hati-hati. Aku memang berjanji padanya untuk memperkenalkannya pada Lila. Sepertinya rencanaku tidak berjalan mulus. Rencanaku gagal.
Aku menggeleng sebagai jawabannya. Maafkan aku bunda. Aku tidak bisa membawa orang yang telah merubah sikapku dan watakku padamu. Aku yang dulu arogan, tidak peduli, masa bodoh menjadi berubah saat bertemu Lila.
Aku menatap Sinta yang tersenyum manis padaku.
“Jaga ayah dan bunda ya sayang.” Kataku mengacak-acak rambutnya.
“Emm.” Angguknya semangat.
Aku kembali menatap ayah yang berdiri disamping bunda. Tangan kanan ayah melingkar di bahu bunda sementara tangan kirinya meremas lembut lengan Sinta. Aku memandang ayah dengan pandangan meminta maaf. Ayah mengangguk mengerti.
“Pulanglah saat kau bisa.” Ucap Bunda pelan padaku dan menutup pintu mobil.
Aku mengangguk pada mereka dan memberikan isyarat pada pak ahmad sopir keluarga kami untuk mengantarku ke bandara.
***
“Pak Ahmad bisa bantu saya?” Tanyaku pada sopir keluarga kami saat kami keluar gerbang kompleks perumahan.
“Bisa tuan muda. Apa yang bisa saya bantu tuan muda?” Tanyanya sopan melirikku melalui kaca mobil.
“Tolong bapak ke toko ini terus setelah dari toko ini bawa barangnya ke alamat rumah ini.” Kataku menyodorkan dua alamat yang harus di datangi pak Ahmad dan menuliskan apa yang harus dibelinya. Pak Ahmad menerima dengan sopan dan membacanya.
“Tuan muda yakin mau memberikan boneka ini?” tanyanya geli memandangi boneka apa yang akan dibelinya.
“Ya. Kado ulang tahun yang terlambat pada seorang teman.” Dengusku.
“Bisa tuan muda. Ada kartu ucapannya?” Tanyanya lagi saat membawa mobil berputar ke arah timur.
“Tunggu.” Jawabku. Aku menarik selembar kertas yang sengaja diselipkan ayahku disaku jok mobil jika ada sesuatu yang darurat untuk ditulis. Dengan tangan gemetar aku menuliskan kata demi kata. Setelah selesai, kulipat surat ucapan itu dan kuberikan pada pak Ahmad untuk disertakan bersama kadonya.
Pak Ahmad mengangguk mengerti dan tidak menanyakan apa-apa lagi. Ku raih ponsel dari saku celana jeansku untuk mengirim pesan singkat kepada Bima agar menjaga Lila.
Ponselku berdering. Bima membalas pesanku. Isinya pun singkat. Hanya berterima kasih padaku dan akan menjaga Lila dengan baik. Bahkan Bima tidak menanyakan mengapa aku mengirim pesan seperti itu.
Aku tersenyum. Hanya itu yang aku mau. Seseorang yang akan merawat gadis manisku. Lila mempunyai tubuh kurus dengan tinggi 160 cm, memiliki kulit putih tetapi pucat dengan rambut ikal yang mengalir hingga punggungnya, membuatnya begitu lemah dan rapuh. Seakan-akan setiap dia melangkah akan membuatnya terancam jatuh. Aku akan selalu mencintainya walaupun dia tidak mencintaiku.
Ku pejamkan kedua mataku. Mencoba menghilangkan visinya yang seolah-olah menari di depan mataku. Melupakan kenanganku bersama dia. Melupakan semua kenangan kami. Aku sangat mencintainya dan aku tidak bisa berhenti mencintainya. Cintaku tidak bisa berubah menjadi benci semudah aku jatuh cinta padanya. Yang aku lakukan adalah pergi menjauhinya untuk mencoba menyembuhkan hatiku.
***
London, Inggris
Akhirnya aku menjejakkan kaki di Inggris. Kuhirup dalam-dalam udara Inggris. “Selamat datang.” Gumamku pelan.
Aku memberhentikan taksi saat aku keluar dari bandara Heathrow. Memerintahkan supir untuk membawaku ke hotel yang murah. Aku harus berfikir kemana aku harus pergi. Namun untuk saat ini aku lapar. Setelah check in, kulangkahkan kakiku ke restoran yang berada di dalam hotel dan memesan makanan.
Aku melihat gadis manis berambut ikal dengan postur tubuh seperti Lila. Aku merindukannya. Aku mendesah frustasi. Kenapa bayangannya tidak pernah bisa pergi dari fikiranku. Kubuka bungkus rokok dan meraihnya. Kurogoh saku celana jeans-ku dan tas pinggangku mencari korek api. Namun tidak aku temukan dimana-mana.
“Sial.” Umpatku.
Tiba-tiba api kecil dari sebuah korek api muncul didepan wajahku. Seorang wanita dengan rambut hitam lurus sebahu dengan mata biru cerah serasi dengan kulitnya yang putih. Dia tersenyum  padaku dan menyodorkan korek api.
Thanks.” Gumamku kemudian menjentikkan korek api.
Kuhirup dalam-dalam rokokku dan menghembuskannya perlahan. Rasanya begitu menenangkan. Aku jarang merokok. Hanya saat-saat tertentu saja aku akan merokok. Aku tahu merokok itu tidak bagus untuk kesehatan. Dan aku selalu ingin menjaga tubuhku apalagi dengan sepakbola yang aku geluti di sekolah. Sekolah…. mengingatkanku padanya. Lagi. Aku mendengus kesal dan menghisap lagi rokokku. Menghembuskan asapnya dengan cepat.
Wanita itu masih duduk didepanku. “Kenzie.” Ucapnya mengulurkan tangan.
Aku berusaha tersenyum padanya dan mengulurkan tangan dengan malas. “Arjuna.”
“Indonesia?” Tanyanya lagi berusaha ramah.
Kenapa orang ini tidak hanya meninggalkanku sendiri dengan tenang.
“Yeah. Kenapa?” Tanyaku lagi menjawabnya menggunakan bahasa Indonesia.
“Aku juga berasal dari sana.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang lancar. “Tidak sepenuhnya.” Katanya mengangkat bahu.
“Oya?” Tanyaku dengan sedikit gembira. Mungkin orang tidak begitu buruk.
“Yeah. Ibuku berasal dari sana tetapi ayahku berasal dari London.” Jawabnya kemudian menyesap kopinya.
“Dimana kau tinggal saat di Indonesia?” Kataku mencondongkan tubuh kedepan.
“Aku tinggal di Bali selama tiga tahun saat umurku 10 tahun.” Jawabnya mengangkat bahu.
Aku mengangguk padanya dan tersenyum mengerti.
“Kau liburan?” Tanyanya.
“Yeah. Aku kira.” Jawabku datar.
“Aku fikir kau sedang menghindari sesuatu.” Ujarnya tiba-tiba.
Aku hanya mendengus dan menghisap rokokku lagi tidak menanggapi perkataannya. Menikmati setiap kepulan asap yang aku buat dari mulutku.
***
A/N : merupakan cerita lama yang hanya tersimpan di memori externalku. :) semoga suka. dan stop mem-plagiat!!! hargailah karya oranglain.

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar kalian setelah membaca ya. Komentarlah dengan bahasa yang baik