Bagian 2
Desember
2006, awal musim dingin
Kuhirup rokokku yang ketiga perlahan
saat menatap suasana pagi sekitar kota London dari jendela flat yang kutempati.
Berulang kali Kenzie memintaku untuk membeli single house, namun aku lebih suka seperti ini. Aku lebih suka tinggal
di flat. Flat yang kutempati di Marylebone,
pusat kota London. Disini pula beberapa penyanyi terkenal pernah tinggal.
Salju memang belum turun. Namun dingin
seakan-akan sudah merayap masuk. Sudah satu tahun aku meninggalkan Indonesia. Satu
tahun ini aku belum pulang ke Indonesia. Aku tidak pernah mengontak
teman-temanku. Bahkan John. Aku hanya
mengontak orangtuaku dan adik kecilku yang sekarang sudah berumur tujuh tahun. Satu
tahun aku disini, aku tidak pernah ingin pulang. London sudah menjadi tempat
keduaku.
Aku melihat seorang gadis memakai kruk
melintasi jalan. Melihat gadis itu aku teringat akan Lila. Gadis yang membuatku
jatuh cinta pada saat pertama aku melihatnya. Saat pertama aku memandang mata
indahnya yang selalu sedih. Merasakan bahwa kami pernah bertemu sebelumnya.
Sebelum bertemu dengan dia, aku tidak
pernah perduli pada wanita. Aku tidak pernah ingin mempunyai komitmen pada
mereka. Aku tidak suka terikat pada sebuah perjanjian. Aku menganggap mereka
hanya menyusahkan dan merepotkan. Namun saat melihat dia seperti itu, aku
merasa perlu untuk merawatnya. Dia telah membawa cinta dalam bentuk yang
berbeda. Cinta yang tidak pernah harus selalu mementingkan diri sendiri.
Aku mengingat kembali saat-saat awal persahabatan kami, saat-saat awal aku
merasakan getaran aneh dalam diriku saat berdekatan dengannya. Mengingat
kembali saat dirumah sakit. Tiga hari dirumah sakit selalu aku manfaatkan. Saat
dia sulit tidur, aku akan menyanyikan lagu untuknya. Hal yang tidak pernah aku
lakukan sebelumnya. Aku berharap dia tahu kenapa aku menyanyikan lagu yang sama
berulang kali. Berharap dia bertanya kenapa aku menyanyikan lagu yang sama.
Namun dia tidak pernah menanyakan padaku. Tidak pernah tahu bahwa aku cinta
padanya.
Aku mencium dahinya atau kedua matanya saat
dia sudah tertidur. Atau menciumi punggung tangannya dan mengirup dalam-dalam
aroma tangannya saat dia tertidur. Aku berani melakukannya saat dia tertidur.
Berulang kali berbicara padanya bahwa aku mencintainya saat dia tertidur juga.
Aku terlalu takut untuk berbicara langsung padanya. Dia adalah gadis yang tidak
terduga. Jalan fikirannya sangat sulit untuk ditebak.
Aku benci menerima kenyataan bahwa Lila
menerima cinta Bima. Benci saat melihat mereka berdua berjalan bergandengan
tangan. Aku berusaha untuk menerima kenyataan bahwa mereka bersama, namun
ternyata tidak. Sebagian besar aku berusaha menghindari Lila.
Aku tidak terlalu dekat dengan Bima. Namun
aku tahu bahwa dia suka mempermainkan wanita. Dia tidak pernah tahan dengan
satu wanita. Aku berharap sikap Bima berubah pada Lila. Karena Lila telah
merubahku juga menjadi lebih baik.
Aku memberanikan diri untuk menyatakan
cintaku padanya tiga hari sebelum pesta kelulusanku. Itupun karena aku
mengetahui bahwa aku sudah bertunangan dengan seorang gadis saat usia kami
sama-sama lima tahun. Orangtuaku mengatakan bahwa gadis itu menghilang. Aku
harap gadis itu tidak pernah ditemukan karena aku tidak akan bisa mencintainya.
Satu tahun ini aku mengira aku bisa
melupakan dia. Satu tahu ini aku berusaha menyibukkan diriku melakukan kegiatan
apapun di luar menyanyi. Entah itu gym, bola atau basket. Namun ternyata aku
salah. Sejauh apapun aku melangkah, semakin sulit aku melupakannya. Hanya
janjiku padanya waktu itu yang mengingatkanku kenapa aku sampai disini.
Mengingat perkataannya malam itu membuat hatiku sakit. Perkataannya yang lembut
hanya membuat aku semakin hancur. Aku lebih suka dia marah padaku atau
berteriak daripada berkata lembut namun menyakitkan. Tetapi aku tidak pernah
berhenti mencintainya. Jauh dari dalam hatiku, aku membutuhkannya.
Membutuhkannya disetiap tarikan nafas, disetiap aliran darah dan disetiap serat
kehidupanku.
Aku mendengar seseorang membuka pintu
flat. Aku sudah tahu siapa yang datang. Tidak ada orang lain lagi yang akan
menemuiku pagi ini.
“Ada apa Zizi?” Tanyaku tanpa
mengalihkan perhatian dari jendela.
Kenzie adalah wanita yang baik. Dia tiga
tahun lebih tua daripada aku. Sesungguhnya dia memiliki postur tubuh indah. Namun
aku tidak mempunyai perasaan apapun padanya. Dia sudah aku anggap sebagai
saudaraku sendiri.
Dia sangat benci saat aku memanggilnya
dengan panggilan itu. Dia tahu kenapa aku memanggilnya dengan panggilan itu.
Kenzie mendengus kesal “Aku membawakan sesuatu
untukmu.”
“Aku
tahu kau tidak suka di ganggu pagi ini. But…
come on. Life must go on.” Ujarnya lagi berdiri disampingku.
“Aku
tidak lapar.” Kataku menatapnya.
“Come
on.” Ajaknya. “Kau butuh sarapan pagi. Aku membawakanmu susu dan pasta.”
Katanya dengan tersenyum.
Ku alihkan pandanganku kembali ke luar
jendela. Menghisap rokokku yang saat ini hampir habis. Susu dan pasta.
Mengingat itu, membuatku teringat padanya. Mengapa semua mengingatkan padanya.
Kuhirup nafas dalam-dalam. “Aku tidak
suka susu dan pasta. Apakah kau lupa itu?” Keluhku. “Tolong jangan kau bawakan
barang-barang yang mengingatkanku padanya.”
Kenzie mendekatiku dan berdiri
disampingku. “I’m so sorry.” Ucapnya.
“Aku tidak bermaksud untuk membuat kau mengingat kembali dia.”
“Dia sangat menyukai pasta buatanku.”
Kataku tersenyum mengingat wajahnya yang gembira dan mengatakan dia punya
makanan favorit baru.
Aku tertawa pelan mengingat kepolosannya
saat melihat keju yang kutaburi diatas pasta. Bibirnya membentuk huruf O saat
aku katakan itu adalah keju. Dia mencobanya dan tersenyum bahwa itu adalah
pertama kalinya dia tahu bahwa rasa keju seperti itu.
Aku beruntung bertemu dengan Kenzie. Dia
tidak pernah mengeluh. Dan selalu mendengarkan ceritaku mengenai Lila.
“Hey,
sore ini akan ada mini konser kita. Aku harap kau masih ingat.” Katanya sambil terkekeh.
Aku mengangkat alis padanya yang masih
berdiri disampingku. “Kenapa aku harus lupa?” Tanyaku.
Dia hanya menggeleng kepala dan
terkekeh. “Yah, mungkin saja kau lupa karena kau selalu berkubang dalam
kesedihan.”
Aku tertawa pelan. Aku tidak pernah bisa
marah padanya. Sesungguhnya maksud dia baik. “Kau bisa sungguh menyebalkan.”
Dia mengangkat bahu dan berjalan ke
dapur. “Aku memang menyebalkan.”
Aku mengikutinya ke dapur. Membuang sisa
rokokku ke wastafel kemudian duduk di meja makan, kupandangi susu dan pasta
yang dibawa Kenzie dengan wajah muram. Haruskah aku memakan ini? melihat kedua
makanan ini tenggorokanku seakan-akan terasa tercekat. Sebelum aku
mengambilnya, Kenzie sudah merebutnya dan memasukkan kembali ke kantong yang
dibawanya.
“Kau tidak perlu memakannya jika kau
tidak suka.” Desahnya. “Aku akan membuatkanmu sandwich.”
Kami berdua makan dalam keheningan. Aku
mengingat kembali saat aku tiba disini. Aku tidak pernah berharap untuk menjadi
seorang penyanyi. Walaupun ada keinginan untuk itu. Aku sudah belajar menyanyi
sejak usiaku dua tahun. Aku belajar menyanyi dari ibuku. Bunda pernah bercerita
bahwa dia seorang penyanyi walau hanya penyanyi café. Namun sepak bola adalah
kesenanganku. Aku sangat menyukai sepak bola. Aku mengikuti sekolah sepak bola
saat usiaku enam tahun dan berhenti setelah aku memasuki SMA.
Awalnya aku tidak tahu bahwa Kenzie
adalah penyanyi solo di London. Hingga dia mengajakku untuk berduet karena
kebetulan dia sedang menggarap albumnya. Kenzie mendengarkanku bernyanyi
sendiri saat aku mendengarkan musik melalui IPod-ku. Sambil memejamkan mata,
Kenzie mengatakan bahwa suaraku bagus.
Atas saran Kenzie, aku mengubah namaku.
Aku mengambil nama panggilan ayahku. Suma. Kupotong rambutku yang panjang
menjadi pendek. Untuk meninggalkan kesan urakan. Begitu Kenzie mengatakan
kepadaku.
Aku menciptakan lagu duet pertamaku bersama
Kenzie yang berjudul beautiful eyes. Yang menceritakan awal aku bertemu dengan
Lila. Kami juga berkolaborasi dengan berbagai penyanyi lokal London dan mengeluarkan
album cinta yang berjudul all about you. Lila akan selalu menjadi inspirasiku. Selalu.
“Kita ada take vocal setelah ini dan ada
gladi bersih siang nanti.” Ucap Kenzie saat aku tidak mengatakan apapun.
“Kau mendengarkan aku? Suma?” Tanyanya
lagi.
“Aku dengar.” Sahutku sambil mengunyah.
Dia tersenyum dan mengangguk. “Oh!”
Serunya. “12 Februari nanti kau ingin hadiah apa?”
Aku hanya memutar bola mataku. “Aku
tidak perlu apapun. Demi tuhan aku bukan anak kecil. Aku akan dua puluh tahun
dua bulan lagi.”
“Oke.” Itu saja jawabannya kemudian berdiri
membawa semua piring dan gelas ke wastafel.
Kenzie meraih tanganku dan menyeretku
keluar dari tempat duduk. “Lets go.”
“Zizi… calm down.” Dengusku.
Dia hanya menyeringai masih menyeretku
keluar flat. Fred pengawalku sudah menunggu dengan senyum diwajahnya seperti
biasa. Dia memiliki postur tubuh tinggi tegap dengan potongan rambut cepak.
Membuatnya ditakuti oleh siapapun. Namun dia sangat baik hati dan ramah. Bahkan
kepada para fansku saat mereka meminta tanda tanganku. Itu yang membuatku
peduli padanya. Istri dari Fred juga masih kerabat dari ibu Kenzie. Bahasa
Indonesia Fred juga lumayan lancar. Namun dia lebih suka berbicara dengan
bahasa inggris.
“Morning
boss.” Seringai Fred padaku.
Aku menyeringai kembali. “Morning Fred.”
Aku melihat Cassi asisten Kenzie yang
juga adiknya berdiri didepan mobil camaro milik Kenzie. “Hai Cassi.” Sapaku
mendekatinya. Cassi tersenyum padaku.
“Siap?” Tanyanya membuka pintu untukku
dan Kenzie.
“Lebih dari siap.” Kataku kemudian masuk
kedalam mobil.
Take vocal dan gladi bersih yang kami
lakukan di Hard Rock Café berjalan dengan lancar. Semoga acara malam nanti
berjalan dengan lancar pula.
***
“Mari
kita mulai.” Gumamku kepada Kenzie sesaat sebelum acara dimulai.
Menyanyikan lagu beautiful eyes
membuatku mengingat lagi Lila. Aku hanya berfikir Kenzie adalah Lila. Berdiri
disini bernyanyi bersamaku.
Mataku mengeksplorasi seluruh penonton yang
bertepuk tangan riuh. Lagu pop yang aku bawakan membuat para penonton ikut
bernyanyi bersamaku dan Kenzie. Inilah hidupku. Hidup yang tidak pernah aku
duga.
Dia akhir acara host menanyakan
pendapatku mengenai Kenzie. Aku menatap wajah Kenzie dan tersenyum. “Zizi… umm... I mean Kenzie is… nice girl.
Very sweet. She’s make me… happy.” Jawabku. Kenzie tersenyum padaku dan
mencium pipiku kemudian memelukku.
“Thanks.”
Bisiknya pelan memelukku. “Kau adikku. Aku selalu ingin membuatmu bahagia.”
Audience bersorak dan bertepuk tangan mendengarku
memuji Kenzie. Kami berdua hanya tertawa saat host mengatakan bahwa kami
pasangan yang serasi.
Aku tidak menyangka mini konser kami
berjalan dengan lancar. Walaupun hanya berlangsung satu jam, antusiasme mereka
sungguh membuatku takjub.
“Untuk merayakannya, bagaimana kalau
kita makan malam? Chinatown?” Saran Kenzie.
Aku mengangkat bahu. “Tentu.”
Kami berbicara apapun saat makan malam. Aku
memang tidak salah mengatakan bahwa Kenzie adalah gadis yang baik.
Aku mengulurkan tangan dan menggenggam
tangannya. “Thank you.”
Alisnya berkerut karena bingung. “For what?”
“For
everything. Untuk kesabaranmu mendengarkan semua masalahku.” Jawabku.
Dia meremas jari-jariku dan mengangguk. “You’re welcome.”
“Umm…. Bisa aku mengatakan sesuatu
Arjuna?” Tanyanya lagi padaku. Saat dia memanggilku dengan namaku aku tahu dia
ingin membicarakan sesuatu yang serius.
“Katakan saja.” Jawabku dengan mulut penuh
sushi.
“Tidakkah kau coba mencari yang lain. I mean…
movin on.” Ucapnya dengan pelan.
Aku hampir tersedak sushi yang kumakan. Buru-buru
aku meminum green tea-ku sebelum aku tersedak lebih parah. Aku tidak pernah
menyangka dia akan mengatakan itu padaku.
Kupandangi Kenzie yang sekarang
tersenyum padaku. Seolah-olah itu hanya sebuah pembicaraan biasa. Apakah dia
serius ingin membuatku mencari yang lain? Sampai saat ini aku tidak bisa
melihat wanita manapun yang lebih spesial setelah Lila.
“Jadi?...” Tanyanya mengangkat alisnya
padaku.
Aku berdehem canggung. “Aku tidak tahu.”
“Kau tahu, mungkin dia disana sudah
mempunyai seseorang. Aku hanya tidak ingin kau menggali lubang kau lebih dalam.”
Aku hanya mendengus. “Serius Kenzie? Aku
bukan anjing yang menggali lubang.”
Dia tertawa mendapati perkataanku tadi
adalah lucu. “Aku serius Arjuna. Kau harus mencoba. Tidak ada salahnya. Banyak
wanita disana yang tergila-gila padamu dan ingin menjadi pacarmu setidaknya.”
“Ini masalah hati. Aku bisa saja
menunjuk salah satu dari mereka. Namun hatiku tidak pada mereka. Aku tidak
ingin mereka kecewa karena aku tidak mencintai mereka.”
Dia meremas tanganku dan menjawab
“Kemudian, temukan hati yang cocok untukmu. Aku yakin ada gadis di luar sana
yang bisa memenangkan hatimu.”
Aku mendesah. Kenzie, jika ada sesuatu
yang dia inginkan, dia tidak akan pernah menyerah. Akan selalu membujukku.
Setelah selesai makan malam, kami
kembali pulang. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. pikiranku melayang kembali
pada percakapan kami tadi. Bisakah aku mencari pengganti yang lain? Aku tidak
pernah bisa melupakan Lila. Sekeras apapun aku mengalihkan perhatianku dengan
kegiatan lain, saat tiba aku sendirian, aku akan mengingat lagi. Ku usap
wajahku dengan kedua tanganku. Aku berharap aku tidak pernah menjadi dewasa.
Aku berharap aku selalu menjadi anak-anak yang tidak merasakan bagaimana sakit
hati karena cinta. Cinta yang tidak sampai.
“Lila, semoga kau bahagia.” Bisikku
kemudian memejamkan mata.
Bunyi dering telepon mengagetkanku. Ku
lihat jam weker di meja. Jam empat pagi. Siapa yang meneleponku sepagi ini.
“What?!”
Jawabku kasar.
“Kakak?” Seperti suara anak kecil.
Kulihat layar di ponselku. Aku tersenyum melihat siapa yang meneleponku. Sinta.
“Hey cantik.” Kataku dengan suara lebih
lembut. “Kenapa kau belum tidur?” Tanyaku lagi. Perbedaan waktu kami sekitar 7
jam. Jadi kemungkinan disana sudah malam.
“Kangen kakak.” Jawabnya sedih. “Kapan
kakak pulang?” Tanyanya lagi. aku bisa membayangkan bahwa Sinta diambang
tangis.
“Kakak tidak tahu. Kakak masih sibuk
sayang.” Jawabku. Kali ini memang jujur. Jadwalku memang sangat padat sekarang.
“Kalau kakak tidak sibuk, kakak mau
pulang kan?” Tanyanya lagi.
“Iya. kakak akan pulang.” Jawabku. Maaf kakak tidak bisa menepati janji kapan
kakak akan pulang.
“Sekarang
kau harus tidur. Sampaikan salam sayang kakak kepada ayah dan bunda.” Kataku
pelan.
“Aku cinta kakak.” Katanya dengan suara
lucu.
Aku tertawa. “Aku cinta kau juga. Bye sweetie.” Jawabku kemudian menutup
telepon. Kembali memejamkan mata. Aku merindukan Sinta. Adik perempuanku satu-satunya.
***
Ini adalah pertengahan bulan Desember. Ini
pertama kalinya aku terlibat syuting film pendek untuk valentine. Aku menerima
film ini atas bujukan Kenzie. Jujur, aku lebih suka menyanyi daripada syuting.
Dengan canggung aku duduk dikursi yang telah disiapkan oleh kru. Kusibukkan
diri dengan mendengarkan lagu Nirvana dari IPod-ku. Tepukan dibahu membuatku
mengalihkan perhatian pada IPod yang kupegang.
Produser film pak Conwell duduk
disampingku. “Ready?” Tanyanya
menyerahkan secangkir kopi capucinno padaku. Aksen inggrisnya sangat kentara
pada ucapannya.
Aku mengulurkan tangan menerima kopi
pemberian darinya. “I’m. Just nervous.”
Kataku gugup dan menyesap kopi perlahan. Conwell mengangguk mengerti.
“First
time, huh?” Tanya pak Brown sang sutradara gemuk berdiri didepanku dengan
tersenyum.
“Yeah.”
Jawabku menyeringai.
Seorang gadis berlari menghampiri kami. Dia
memiliki tinggi mungkin sekitar 155 cm. sangat mungil untuk ukurannya. Rambutnya
yang pirang lurus serasi dengan wajahnya yang mungil.
“I’m
Sorry. I’m late.” Katanya dengan terengah-engah seakan-akan dia baru saja
berlari puluhan kilometer.
“Oh
well… next time don’t be late.” Tukas pak Conwell dengan sedikit marah.
Gadis itu mengangguk mengerti pada pak
Brown dan pak Conwell. Kemudian matanya beralih menatapku. Aku tersenyum sopan
padanya.
“You’re Suma right? I’m Shelby Antonette. Just
call me Shelb if you don’t mind.”
Kujabat tangannya kembali. “Yeah, I’m Suma. Nice to meet you.”
Syuting berlangsung sekitar satu setengah
bulan, Dalam film itu diceritakan aku dan Shelby menjadi pasangan kekasih. Shelby
membantuku dan mengajarkanku berakting saat break syuting. Dia gadis yang
cantik dan berbakat.
Selama satu setengah bulan aku mendapati
diriku nyaman berada didekat Shelby. Dia gadis yang baik dan menyenangkan. Ramah
dan juga lucu. Dia juga penyanyi namun dia lebih sering menjadi pemain film. Ia
lebih berpengalaman dari pada aku. Ternyata usianya empat tahun lebih tua dari
pada aku, namun ia bisa menjadi seorang gadis kecil yang lugu kadang-kadang.
30 Januari syuting film sudah selesai,
itu berarti adalah hari ini. Aku berencana mengajak Shelby untuk makan malam
setelah syuting selesai. Saat aku menanyakan kepadanya niatku dia
menyetujuinya.
Kupejamkan mataku dan kuhirup nafas
dalam-dalam. Shelby menatapku dengan pandangan bertanya saat kami tiba di
restoran mewah di pusat kota London. Aku menatapnya tersenyum dan menggelengkan
kepala. Memberi isyarat kepadanya bahwa aku baik-baik saja.
Kami berdua makan dalam keheningan.
Sekali-kali kami berbicara. Apapun kami bicarakan. Setelah selesai makan dan
aku mengantarnya pulang dengan mobil ferariku. Saat tiba didepan rumahnya aku
merasakan de javu. Buru-buru kuguncang jauh-jauh pikiran itu.
Aku menggenggam tangannya dan kutatap
matanya. Mata abu-abunya menatapku dengan penuh tanya. “Shelb, um… there was something I want to say.”
“Yeah,
what is it?” Jawabnya lembut.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Mungkin ini
saatnya. “Shelb, I love you all my heart.
But, if you don’t-“
Ditutupnya mulutku dengan jarinya. “I love you too.” Jawabnya.
“Aku mencintaimu Shelb.” Kataku. Dia
tersenyum pada kata-kataku. Dia mengerti apa yang aku ucapkan. Bahasa
indonesianya mungkin tidak begitu bagus. Namun dia bisa mengucapkannya kembali.
“Aku… juga…” Jawabnya mengerutkan kening
memikirkan kata-kata yang dia ucapkan kepadaku. “Tidak salah… right?”
Aku tertawa. “Tidak. kau benar. Now, get some sleep. Kau terlihat lelah.”
Dia mengangguk. “Love you.” Bisiknya.
Aku tersenyum mencium pipinya dengan
lembut. “Me too.” Bisikku.
Kukendarai mobilku pulang. Aku dan
Shelby berpacaran sekarang. Namun kenapa itu sedikit aneh. Aku tidak begitu
bahagia. Seperti ada sesuatu yang salah. Namun aku tidak bisa menemukan apa
itu.
Aku hanya mendesah. Ini saatnya aku
berusaha movin on dan berusaha untuk
mencintai orang lain. Saat aku mengatakan kepada Kenzie bahwa aku dan Shelby
berpacaran, dia sangat senang sekali untukku. Mengatakan bahwa aku pantas untuk
mendapatkan kebahagiaan.
Kesibukan aku dan Shelby membuat kami
berdua jarang bertemu. Walaupun begitu, aku sebisa mungkin menelepon Shelby setiap
hari dan menanyakan apa yang dia kerjakan. Atau aku mengiriminya bunga. Mudah
sekali berbicara dengan Shelby walaupun ditelepon. Cerianya membawa efek bagiku
untuk ikut tertawa. Aku mulai mencintai Shelby.
Sesekali aku mengajaknya makan malam. Atau
hanya mampir kerumahnya dan menonton film atau berkaraoke bersamanya. Semua
begitu mudah aku merasa. Seakan semua beban terlepas dari pundakku saat bersama
Shelby.
A/N : merupakan cerita lama yang hanya tersimpan di memori externalku. :) semoga suka. dan stop mem-plagiat!!! hargailah karya oranglain.