Rabu, 08 April 2015

THAT MAN #1 by NELLE L'AMOUR (sampel)

THAT MAN #1 by NELLE L'AMOUR 


BAB 1
JENNIFER


Truth or Dare, Jen,” tantang Chaz, satu-satunya teman gayku. “Apakah kau pernah orgasme berkali-kali dengan Bradley?”

Bradley Wick adalah tunanganku. Kita sudah bertunangan beberapa malam yang lalu meskipun cincin itu masih dalam proses. Temanku tiba-tiba membawaku keluar ke Graystone Manor, salah satu klub terkenal di Hollywood untuk berpesta. Grup yang ada di meja VIP kami termasuk teman kampusku dan teman terbaikku di dunia, Libby Clearfield, saudari kembar Chaz. Serahkan saja pada Chaz untuk mendapatkan kami masuk ke hal tidak mungkin-menjadi-masuk ke tempat selebriti berkumpul. Kakak laki-laki Libby adalah salah satu dari teratas-dan-perancang busana pendatang baru LA. Pintu terbuka untuk Chaz. Dunia adalah tiramnya.

Chaz mengulangi pertanyaan seakan aku mempunyai telinga yang tuli. Teman-teman disekelilingku ber-ooh dan aah. Aku merasa diriku merona. Berubah warna menjadi margarita strawberry  yang telah kuminum. Jawaban dari pertanyaan itu berada diujung lidahku. Satu kata. “Dare.” aku tidak mengatakannya. Truth : aku tidak pernah orgasme dengan Bradley. Tidak sekalipun.
Wajah tampan kekanak-kanakan Chaz bersinar. Dia tampak senang dengan responku. Helaan kecewa dari yang lain di meja membuat jelas bahwa mereka sangat tertarik mendengarkan kehidupan sex-ku daripada melihat diriku sendiri membuat kebodohan total. Terserah. aku pemain adil dan aku harus maju untuk tantangan.

“Oke, jadi apa Dare-ku?” aku bertanya pada Chaz.

Kilatan jahat tercetak di mata cokelatnya. “Kau harus mencium pria yang di sana.”

Apa? “Pria yang mana?”

“Pria itu duduk di meja untuk dua orang di sudut.”

Pandanganku mengikuti arah tunjuk jarinya yang melewati kemewahan klub ramai, ke sudut meja dekat lantai dansa. Aku melihat seorang pria duduk sendirian, punggungnya menghadap kearahku. Satu tangannya miring ke atas, mungkin dia minum segelas cocktail atau makan sesuatu. Setelan gelap yang dipakainya tampak terlihat mahal, dan meskipun sulit mengukur berapa tinggi badannya, tegak postur dan lebar bahunya mungkin lebih dari enam kaki dan besar. Rambut hitam tebal, bergaya trendi dengan acak-acakan melewati kerahnya. Aku menyimpulkan dia dalam sekejap. Hidung belang kotor yang mencari hubungan. Oke. Aku bisa menangani dia. Ini hanya Dare. Sebuah permainan konyol. Dan aku mabuk.

Aku bangkit berdiri. Dan begitu juga Chaz.

“Ayo buat ini menjadi tantangan nyata,” dia bersenandung dengan seringain jahat. Dalam sekejap, dia menarik lepas dasi kotak-kotaknya, dan selanjutnya aku sudah tahu, dasi itu terikat kuat menutupi mataku. Aku tidak bisa melihat apapun. Meja berisi teman-temanku berubah menjadi gila, dengan wajah-sialan berteriak untuk persetujuan. Oke. Jadi, tidak melihat, aku akan berjalan lurus melintasi klub malam yang ramai ke meja pria itu, menemukan dia, dan kemudian menciumnya.

“Dibibir,” Chaz menginstruksi.

Gah! Apa yang kudapatkan untuk diriku sendiri? “Tidak mungkin,” mohonku, suaraku serak oleh semua alcohol. Aku kehilangan langkahku akibat dari banyaknya margarita yang kukonsumsi.

“Mungkin!” grup berteriak serempak.

Untuk ketakukanku yang absolut, Chaz memutarku beberapa menit. Saat dia berhenti, aku sangat  pusing daripada pesta mabuk-mabukan selama tiga hari. Kakiku bergoyang dan aku tidak tahu bagaimana langkahku. Kencang, irama musik tekno bergetar-getar memukul telingaku.

“Akankah seseorang setidaknya mengatakan kepadaku kearah mana aku berjalan?” tanyaku, tertatih diantara tawa dan kecemasan.  Aku terlalu banyak minum. Seandainya tidak, aku akan lari dari keikutsertaan ini, penutup mata dan semuanya.

Mencengkeram bahuku, Chaz menunjukkanku arah mana targetku. Aku mengambil langkah kecil melalui sepatu hakku, temanku memanduku dengan tawa yang membahana. “Ya itu … di kanan … tidak di kiri … kau semakin dekat ….”

Jika aku tidak tepat, aku akan merasa sangat malu, meraba-raba, dan tersandung di klub bagus ini, dengan mata tertutup. sepanjang jalan, aku merasa beberapa gadis berdada besar, menjatuhkan botol dari sesuatu yang sangat mahal, dan menabrak pelayan yang membawa nampan. Sesungguhnya, ini tidak terlalu buruk mengingat betapa rawan kecelakaan yang kubuat. Sebagian besar dari pertemuan ini disambut dengan tawa, tetapi ada juga beberapa apa-yang-terjadi. Melalui penutup mata, aku dapat merasakan orang-orang mengamatiku. Kulitku terasa gatal. Aku tahu sekarang apa yang dirasakan orang buta dalam hidupnya. Sebuah rasa iba menghinggapiku.

“Hanya dua langkah ke kiri,” aku mendengar Chaz berteriak.

Dengan tangan terjulur, aku melakukan seperti yang dia arahkan, dan tiba-tiba tanganku sudah menyentuh gumpalan tebal dari dari rambut halus. Ini harusnya dia. Dia tidak kaget atau mengatakan satu kata.

“Cium dia, cium dia!” aku mendengar teman-temanku berteriak dari kejauhan.

Oh, Tuhan. apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau mengecewakan mereka atau aku tidak ingin hidup ini jatuh. Aku sudah sejauh ini. Tanpa berfikir banyak, secara buta aku menjalankan tanganku ke wajah korbanku. Kulitnya sangat lembut dengan rambut halus di dagu yang tercukur rapi, dan rupa wajahnya berbeda dan terdefinisi—hidung mancung yang benar-benar pria; kuat, dagu yang terbelah; sepasang bibir selembut beludru. Aku menelurusi bibirnya, meraba mereka dengan tanganku, membangun keberanian untuk menyentuh mereka dengan tanganku sendiri.

“Aku berharap kamu tidak masalah, tetapi aku sedang bermain sebuah permainan dari Truth or Dare, dan aku harus menciummu.” Tuhan, bagaimana konyolnya aku terdengar dan terlihat dengan mata tertutupku.

Aku menganggap kediaman korbanku sebagai pertanda kalau dia akan bermain bersama. Oke, ini dia. Mencengkeram sudut dagunya diantara jariku, aku menunduk untuk menciumnya. Tetapi sebelum aku menjatuhkan bibirku dibibirnya, dia bangkit dan, dalam satu gerakan cepat, dia menjatuhkan bibirnya dibibirku.

Oh. My. God. Gelombang panas menyerangku. Ini adalah salah satu ciuman seperti dalam film. Ganas, nikmat, bergairah. Membuka mulut dan oh sangat mengonsumsi. Dan dia terasa hebat—rasa manis dari sampanye terasa dinafasnya. Dia menggigit bibir atasku, memaksaku untuk memisahkan mereka, dan jatuh kehangat lidahnya yang selembut beludru di dalam mulutku. Lidahnya otomatis menemukanku dan mereka terjalin, mereka menari seakan untuk selamanya. Dia menarik keras kuncir ekor kudaku, menghentakkan kepalaku kebelakang, dan menggenggam ditangannya, mencabut akar rambutku. Sakit yang nikmat dipadukan dengan nikmat ciumannya mengirimkan  sensasi erotis padaku. Setiap sarafku berpacu. Nafasku bertambah berat. Aku sudah pusing, aku sekarang dalam batas tergila-gila. Aku tidak pernah berciuman dengan pria seperti ini sebelumnya. Aku tidak ingin dia berhenti. Apa yang salah denganku? Aku bahkan lupa sudah bertunangan.

Di latar belakang, aku dapat mendengar samar-samar temanku bersorak dan bersiul. “Maju, gadis!” sangat yakin, itu Chaz si kepala pemandu sorak.

Suara hatiku berkata padaku untuk berhenti, tetapi tidak peduli berapa banyak aku menghendaki itu, aku tidak bisa memisahkan bibirku darinya. Faktanya, aku memperdalam ciuman, dengan kerah bajunya, aku menarik dia mendekat padaku. Bahan bajunya terasa mahal. Seperti terbuat dari trilyunan benang katun dari Mesir. Segalanya tentang pria ini terasa dan merasa hebat. Dia meremas kuat kuncir ekor kudaku. Aku mengerang di mulutnya dan dia mengerang kembali. Tuhan, suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar seksi!

Dan secara tiba-tiba, secepat dia memasukkan lidahnya ke mulutku, dia menariknya kembali. Setelahnya, dia melepaskan cengkeramannya dirambutku. Aku terengah, frustasi untuk meminta lebih.

“Tunggu!” aku berteriak, tanganku menggapainya. Alih-alih mencari dia, aku mendapati diriku menjatuhnya sebuah gelas dingin. Indra penciumanku yang tinggi mengatakan padaku kalau itu adalah sampanye miliknya.

“Aku minta maaf,” kataku serak, berjuang untuk melepaskan ikatan dasi yang kuat. “Aku akan membayarmu yang lain.” Akhirnya, aku melepaskan dasi itu. Aku berkedip beberapa kali. Dia sudah pergi, dan aku merasa sangat sakit sendirian. kemana dia pergi? Mataku dengan bingung mencari diantara keramaian, bergerak ke kiri dan kanan, tetapi dia tidak bisa ditemukan dimanapun. Bahkan jika dia melihatku disuatu tempat, menatapku tepat dimataku, aku tidak akan tahu karena aku tidak tahu bagaimana rupanya.

Semua temanku sekarang berdiri dan bertepuk tangan padaku. Aku hidup untuk berani. Berciuman dengan pria asing dibibir. Ah, bibir itu! 

Termangu, aku terhuyung kembali ke grup dan berani untuk tidak mengatakan pada mereka bagaimana aku sangat menikmati itu. Dan aku ingin lebih.
***

WARNING :
Cerita ini saya terjemahkan sendiri. Maaf jika bahasa yang saya terjemahkan masih jauh dari sempurna. Dan, jika diantara pembaca ada yang mengetahui kalau cerita ini sudah diterjemahkan dalam bentuk buku, tolong beritahukan saya baik-baik dan akan saya hapus jika terbukti. Tidak perlu heboh dan main keroyokan mem-bully saya. Karena saya menterjemahkan cerita ini langsung dari versi aslinya bukan menyalin ulang dari buku terjemahannya (kalaupun ada). Terima kasih.

temukan lanjutan cerita ini di wattpad.com dengan user @Yeni_Lestari87

Rabu, 18 Februari 2015

MENAMPILKAN WIDGET GOOGLE+ DENGAN KODE HTML

Sebagian dari kita pasti ingin mengubah tampilan widget google+ dengan yang berbeda dari biasanya. Termasuk saya. berikut ini beberapa langkah yang bisa teman-teman blogger terapkan pada blognya.

1. Buka http://widgetplus.com. Setelah terbuka, klik Get Your Widget Now


2. Akan terbuka jendela Widget+ seperti dibawah ini



















3. Isilah form tersebut sesuai dengan keinginan. Akan tetapi, untuk bagian Google Plus ID, teman-teman bisa mengetahui ID google+ masing-masing dengan cara membuka profil Google+ pribadi teman-teman sendiri. Seperti contoh gambar dibawah ini :






tanda yang saya lingkari pada gambar diatas adalah Google Plus ID teman-teman.

4. Setelah selesai mengisi form tersebut diatas, kemudian klik Get Your Widget Now.




















5. Klik Copy your code kemudian masukkan kedalam widget kode html/javascript blogger teman-teman. Selamat mencoba! :)

Kamis, 29 Januari 2015

KISAH TAK SEMPURNA (Bag. 2)

Bagian 2



Desember 2006, awal musim dingin
Kuhirup rokokku yang ketiga perlahan saat menatap suasana pagi sekitar kota London dari jendela flat yang kutempati. Berulang kali Kenzie memintaku untuk membeli single house, namun aku lebih suka seperti ini. Aku lebih suka tinggal di flat. Flat yang kutempati di Marylebone, pusat kota London. Disini pula beberapa penyanyi terkenal pernah tinggal.
Salju memang belum turun. Namun dingin seakan-akan sudah merayap masuk. Sudah satu tahun aku meninggalkan Indonesia. Satu tahun ini aku belum pulang ke Indonesia. Aku tidak pernah mengontak teman-temanku. Bahkan John.  Aku hanya mengontak orangtuaku dan adik kecilku yang sekarang sudah berumur tujuh tahun. Satu tahun aku disini, aku tidak pernah ingin pulang. London sudah menjadi tempat keduaku.
Aku melihat seorang gadis memakai kruk melintasi jalan. Melihat gadis itu aku teringat akan Lila. Gadis yang membuatku jatuh cinta pada saat pertama aku melihatnya. Saat pertama aku memandang mata indahnya yang selalu sedih. Merasakan bahwa kami pernah bertemu sebelumnya.
Sebelum bertemu dengan dia, aku tidak pernah perduli pada wanita. Aku tidak pernah ingin mempunyai komitmen pada mereka. Aku tidak suka terikat pada sebuah perjanjian. Aku menganggap mereka hanya menyusahkan dan merepotkan. Namun saat melihat dia seperti itu, aku merasa perlu untuk merawatnya. Dia telah membawa cinta dalam bentuk yang berbeda. Cinta yang tidak pernah harus selalu mementingkan diri sendiri.
Aku mengingat kembali saat-saat  awal persahabatan kami, saat-saat awal aku merasakan getaran aneh dalam diriku saat berdekatan dengannya. Mengingat kembali saat dirumah sakit. Tiga hari dirumah sakit selalu aku manfaatkan. Saat dia sulit tidur, aku akan menyanyikan lagu untuknya. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Aku berharap dia tahu kenapa aku menyanyikan lagu yang sama berulang kali. Berharap dia bertanya kenapa aku menyanyikan lagu yang sama. Namun dia tidak pernah menanyakan padaku. Tidak pernah tahu bahwa aku cinta padanya.
Aku mencium dahinya atau kedua matanya saat dia sudah tertidur. Atau menciumi punggung tangannya dan mengirup dalam-dalam aroma tangannya saat dia tertidur. Aku berani melakukannya saat dia tertidur. Berulang kali berbicara padanya bahwa aku mencintainya saat dia tertidur juga. Aku terlalu takut untuk berbicara langsung padanya. Dia adalah gadis yang tidak terduga. Jalan fikirannya sangat sulit untuk ditebak.
Aku benci menerima kenyataan bahwa Lila menerima cinta Bima. Benci saat melihat mereka berdua berjalan bergandengan tangan. Aku berusaha untuk menerima kenyataan bahwa mereka bersama, namun ternyata tidak. Sebagian besar aku berusaha menghindari Lila.
Aku tidak terlalu dekat dengan Bima. Namun aku tahu bahwa dia suka mempermainkan wanita. Dia tidak pernah tahan dengan satu wanita. Aku berharap sikap Bima berubah pada Lila. Karena Lila telah merubahku juga menjadi lebih baik.
Aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku padanya tiga hari sebelum pesta kelulusanku. Itupun karena aku mengetahui bahwa aku sudah bertunangan dengan seorang gadis saat usia kami sama-sama lima tahun. Orangtuaku mengatakan bahwa gadis itu menghilang. Aku harap gadis itu tidak pernah ditemukan karena aku tidak akan bisa mencintainya.
Satu tahun ini aku mengira aku bisa melupakan dia. Satu tahu ini aku berusaha menyibukkan diriku melakukan kegiatan apapun di luar menyanyi. Entah itu gym, bola atau basket. Namun ternyata aku salah. Sejauh apapun aku melangkah, semakin sulit aku melupakannya. Hanya janjiku padanya waktu itu yang mengingatkanku kenapa aku sampai disini. Mengingat perkataannya malam itu membuat hatiku sakit. Perkataannya yang lembut hanya membuat aku semakin hancur. Aku lebih suka dia marah padaku atau berteriak daripada berkata lembut namun menyakitkan. Tetapi aku tidak pernah berhenti mencintainya. Jauh dari dalam hatiku, aku membutuhkannya. Membutuhkannya disetiap tarikan nafas, disetiap aliran darah dan disetiap serat kehidupanku.
Aku mendengar seseorang membuka pintu flat. Aku sudah tahu siapa yang datang. Tidak ada orang lain lagi yang akan menemuiku pagi ini.
“Ada apa Zizi?” Tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari jendela.
Kenzie adalah wanita yang baik. Dia tiga tahun lebih tua daripada aku. Sesungguhnya dia memiliki postur tubuh indah. Namun aku tidak mempunyai perasaan apapun padanya. Dia sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri.
Dia sangat benci saat aku memanggilnya dengan panggilan itu. Dia tahu kenapa aku memanggilnya dengan panggilan itu.
Kenzie mendengus kesal “Aku membawakan sesuatu untukmu.”
 “Aku tahu kau tidak suka di ganggu pagi ini. But… come on. Life must go on.” Ujarnya lagi berdiri disampingku.
 “Aku tidak lapar.” Kataku menatapnya.
Come on.” Ajaknya. “Kau butuh sarapan pagi. Aku membawakanmu susu dan pasta.” Katanya dengan tersenyum.
Ku alihkan pandanganku kembali ke luar jendela. Menghisap rokokku yang saat ini hampir habis. Susu dan pasta. Mengingat itu, membuatku teringat padanya. Mengapa semua mengingatkan padanya.
Kuhirup nafas dalam-dalam. “Aku tidak suka susu dan pasta. Apakah kau lupa itu?” Keluhku. “Tolong jangan kau bawakan barang-barang yang mengingatkanku padanya.”
Kenzie mendekatiku dan berdiri disampingku. “I’m so sorry.” Ucapnya. “Aku tidak bermaksud untuk membuat kau mengingat kembali dia.”
“Dia sangat menyukai pasta buatanku.” Kataku tersenyum mengingat wajahnya yang gembira dan mengatakan dia punya makanan favorit baru.  
Aku tertawa pelan mengingat kepolosannya saat melihat keju yang kutaburi diatas pasta. Bibirnya membentuk huruf O saat aku katakan itu adalah keju. Dia mencobanya dan tersenyum bahwa itu adalah pertama kalinya dia tahu bahwa rasa keju seperti itu.
Aku beruntung bertemu dengan Kenzie. Dia tidak pernah mengeluh. Dan selalu mendengarkan ceritaku mengenai Lila.
 “Hey, sore ini akan ada mini konser kita. Aku harap kau masih ingat.”  Katanya sambil terkekeh.
Aku mengangkat alis padanya yang masih berdiri disampingku. “Kenapa aku harus lupa?” Tanyaku.
Dia hanya menggeleng kepala dan terkekeh. “Yah, mungkin saja kau lupa karena kau selalu berkubang dalam kesedihan.”
Aku tertawa pelan. Aku tidak pernah bisa marah padanya. Sesungguhnya maksud dia baik. “Kau bisa sungguh menyebalkan.”
Dia mengangkat bahu dan berjalan ke dapur. “Aku memang menyebalkan.”
Aku mengikutinya ke dapur. Membuang sisa rokokku ke wastafel kemudian duduk di meja makan, kupandangi susu dan pasta yang dibawa Kenzie dengan wajah muram. Haruskah aku memakan ini? melihat kedua makanan ini tenggorokanku seakan-akan terasa tercekat. Sebelum aku mengambilnya, Kenzie sudah merebutnya dan memasukkan kembali ke kantong yang dibawanya.
“Kau tidak perlu memakannya jika kau tidak suka.” Desahnya. “Aku akan membuatkanmu sandwich.”
Kami berdua makan dalam keheningan. Aku mengingat kembali saat aku tiba disini. Aku tidak pernah berharap untuk menjadi seorang penyanyi. Walaupun ada keinginan untuk itu. Aku sudah belajar menyanyi sejak usiaku dua tahun. Aku belajar menyanyi dari ibuku. Bunda pernah bercerita bahwa dia seorang penyanyi walau hanya penyanyi café. Namun sepak bola adalah kesenanganku. Aku sangat menyukai sepak bola. Aku mengikuti sekolah sepak bola saat usiaku enam tahun dan berhenti setelah aku memasuki SMA.
Awalnya aku tidak tahu bahwa Kenzie adalah penyanyi solo di London. Hingga dia mengajakku untuk berduet karena kebetulan dia sedang menggarap albumnya. Kenzie mendengarkanku bernyanyi sendiri saat aku mendengarkan musik melalui IPod-ku. Sambil memejamkan mata, Kenzie mengatakan bahwa suaraku bagus.
Atas saran Kenzie, aku mengubah namaku. Aku mengambil nama panggilan ayahku. Suma. Kupotong rambutku yang panjang menjadi pendek. Untuk meninggalkan kesan urakan. Begitu Kenzie mengatakan kepadaku.
Aku menciptakan lagu duet pertamaku bersama Kenzie yang berjudul beautiful eyes. Yang menceritakan awal aku bertemu dengan Lila. Kami juga berkolaborasi dengan berbagai penyanyi lokal London dan mengeluarkan album cinta yang berjudul all about you. Lila akan selalu menjadi inspirasiku. Selalu.
“Kita ada take vocal setelah ini dan ada gladi bersih siang nanti.” Ucap Kenzie saat aku tidak mengatakan apapun.
“Kau mendengarkan aku? Suma?” Tanyanya lagi.
“Aku dengar.” Sahutku sambil mengunyah.
Dia tersenyum dan mengangguk. “Oh!” Serunya. “12 Februari nanti kau ingin hadiah apa?”
Aku hanya memutar bola mataku. “Aku tidak perlu apapun. Demi tuhan aku bukan anak kecil. Aku akan dua puluh tahun dua bulan lagi.”
“Oke.” Itu saja jawabannya kemudian berdiri membawa semua piring dan gelas ke wastafel.
Kenzie meraih tanganku dan menyeretku keluar dari tempat duduk. “Lets go.
“Zizi… calm down.” Dengusku.
Dia hanya menyeringai masih menyeretku keluar flat. Fred pengawalku sudah menunggu dengan senyum diwajahnya seperti biasa. Dia memiliki postur tubuh tinggi tegap dengan potongan rambut cepak. Membuatnya ditakuti oleh siapapun. Namun dia sangat baik hati dan ramah. Bahkan kepada para fansku saat mereka meminta tanda tanganku. Itu yang membuatku peduli padanya. Istri dari Fred juga masih kerabat dari ibu Kenzie. Bahasa Indonesia Fred juga lumayan lancar. Namun dia lebih suka berbicara dengan bahasa inggris.
Morning boss.” Seringai Fred padaku.
Aku menyeringai kembali. “Morning Fred.”
Aku melihat Cassi asisten Kenzie yang juga adiknya berdiri didepan mobil camaro milik Kenzie. “Hai Cassi.” Sapaku mendekatinya. Cassi tersenyum padaku.
“Siap?” Tanyanya membuka pintu untukku dan Kenzie.
“Lebih dari siap.” Kataku kemudian masuk kedalam mobil.
Take vocal dan gladi bersih yang kami lakukan di Hard Rock Café berjalan dengan lancar. Semoga acara malam nanti berjalan dengan lancar pula.
***
 “Mari kita mulai.” Gumamku kepada Kenzie sesaat sebelum acara dimulai.
Menyanyikan lagu beautiful eyes membuatku mengingat lagi Lila. Aku hanya berfikir Kenzie adalah Lila. Berdiri disini bernyanyi bersamaku.
Mataku mengeksplorasi seluruh penonton yang bertepuk tangan riuh. Lagu pop yang aku bawakan membuat para penonton ikut bernyanyi bersamaku dan Kenzie. Inilah hidupku. Hidup yang tidak pernah aku duga.
Dia akhir acara host menanyakan pendapatku mengenai Kenzie. Aku menatap wajah Kenzie dan tersenyum. “Zizi… umm... I mean Kenzie is… nice girl. Very sweet. She’s make me… happy.” Jawabku. Kenzie tersenyum padaku dan mencium pipiku kemudian memelukku.
Thanks.” Bisiknya pelan memelukku. “Kau adikku. Aku selalu ingin membuatmu bahagia.”
Audience bersorak dan bertepuk tangan mendengarku memuji Kenzie. Kami berdua hanya tertawa saat host mengatakan bahwa kami pasangan yang serasi.
Aku tidak menyangka mini konser kami berjalan dengan lancar. Walaupun hanya berlangsung satu jam, antusiasme mereka sungguh membuatku takjub.
“Untuk merayakannya, bagaimana kalau kita makan malam? Chinatown?” Saran Kenzie.
Aku mengangkat bahu. “Tentu.”
Kami berbicara apapun saat makan malam. Aku memang tidak salah mengatakan bahwa Kenzie adalah gadis yang baik.
Aku mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya. “Thank you.”
Alisnya berkerut karena bingung. “For what?
For everything. Untuk kesabaranmu mendengarkan semua masalahku.” Jawabku.
Dia meremas jari-jariku dan mengangguk. “You’re welcome.”
“Umm…. Bisa aku mengatakan sesuatu Arjuna?” Tanyanya lagi padaku. Saat dia memanggilku dengan namaku aku tahu dia ingin membicarakan sesuatu yang serius.
“Katakan saja.” Jawabku dengan mulut penuh sushi.
“Tidakkah kau coba mencari yang lain.  I mean… movin on.” Ucapnya dengan pelan.
Aku hampir tersedak sushi yang kumakan. Buru-buru aku meminum green tea-ku sebelum aku tersedak lebih parah. Aku tidak pernah menyangka dia akan mengatakan itu padaku.
Kupandangi Kenzie yang sekarang tersenyum padaku. Seolah-olah itu hanya sebuah pembicaraan biasa. Apakah dia serius ingin membuatku mencari yang lain? Sampai saat ini aku tidak bisa melihat wanita manapun yang lebih spesial setelah Lila.
“Jadi?...” Tanyanya mengangkat alisnya padaku.
Aku berdehem canggung. “Aku tidak tahu.”
“Kau tahu, mungkin dia disana sudah mempunyai seseorang. Aku hanya tidak ingin kau menggali lubang kau lebih dalam.”
Aku hanya mendengus. “Serius Kenzie? Aku bukan anjing yang menggali lubang.”
Dia tertawa mendapati perkataanku tadi adalah lucu. “Aku serius Arjuna. Kau harus mencoba. Tidak ada salahnya. Banyak wanita disana yang tergila-gila padamu dan ingin menjadi pacarmu setidaknya.”
“Ini masalah hati. Aku bisa saja menunjuk salah satu dari mereka. Namun hatiku tidak pada mereka. Aku tidak ingin mereka kecewa karena aku tidak mencintai mereka.”
Dia meremas tanganku dan menjawab “Kemudian, temukan hati yang cocok untukmu. Aku yakin ada gadis di luar sana yang bisa memenangkan hatimu.”
Aku mendesah. Kenzie, jika ada sesuatu yang dia inginkan, dia tidak akan pernah menyerah. Akan selalu membujukku.
Setelah selesai makan malam, kami kembali pulang. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. pikiranku melayang kembali pada percakapan kami tadi. Bisakah aku mencari pengganti yang lain? Aku tidak pernah bisa melupakan Lila. Sekeras apapun aku mengalihkan perhatianku dengan kegiatan lain, saat tiba aku sendirian, aku akan mengingat lagi. Ku usap wajahku dengan kedua tanganku. Aku berharap aku tidak pernah menjadi dewasa. Aku berharap aku selalu menjadi anak-anak yang tidak merasakan bagaimana sakit hati karena cinta. Cinta yang tidak sampai.
“Lila, semoga kau bahagia.” Bisikku kemudian memejamkan mata.

Bunyi dering telepon mengagetkanku. Ku lihat jam weker di meja. Jam empat pagi. Siapa yang meneleponku sepagi ini.
What?!” Jawabku kasar.
“Kakak?” Seperti suara anak kecil. Kulihat layar di ponselku. Aku tersenyum melihat siapa yang meneleponku. Sinta.
“Hey cantik.” Kataku dengan suara lebih lembut. “Kenapa kau belum tidur?” Tanyaku lagi. Perbedaan waktu kami sekitar 7 jam. Jadi kemungkinan disana sudah malam.
“Kangen kakak.” Jawabnya sedih. “Kapan kakak pulang?” Tanyanya lagi. aku bisa membayangkan bahwa Sinta diambang tangis.
“Kakak tidak tahu. Kakak masih sibuk sayang.” Jawabku. Kali ini memang jujur. Jadwalku memang sangat padat sekarang.
“Kalau kakak tidak sibuk, kakak mau pulang kan?” Tanyanya lagi.
“Iya. kakak akan pulang.” Jawabku. Maaf kakak tidak bisa menepati janji kapan kakak akan pulang.
 “Sekarang kau harus tidur. Sampaikan salam sayang kakak kepada ayah dan bunda.” Kataku pelan.
“Aku cinta kakak.” Katanya dengan suara lucu.
Aku tertawa. “Aku cinta kau juga. Bye sweetie.” Jawabku kemudian menutup telepon. Kembali memejamkan mata. Aku merindukan Sinta. Adik perempuanku satu-satunya.
***
Ini adalah pertengahan bulan Desember. Ini pertama kalinya aku terlibat syuting film pendek untuk valentine. Aku menerima film ini atas bujukan Kenzie. Jujur, aku lebih suka menyanyi daripada syuting. Dengan canggung aku duduk dikursi yang telah disiapkan oleh kru. Kusibukkan diri dengan mendengarkan lagu Nirvana dari IPod-ku. Tepukan dibahu membuatku mengalihkan perhatian pada IPod yang kupegang.
Produser film pak Conwell duduk disampingku. “Ready?” Tanyanya menyerahkan secangkir kopi capucinno padaku. Aksen inggrisnya sangat kentara pada ucapannya.
Aku mengulurkan tangan menerima kopi pemberian darinya. “I’m. Just nervous.” Kataku gugup dan menyesap kopi perlahan. Conwell mengangguk mengerti.
First time, huh?” Tanya pak Brown sang sutradara gemuk berdiri didepanku dengan tersenyum.
“Yeah.” Jawabku menyeringai.
Seorang gadis berlari menghampiri kami. Dia memiliki tinggi mungkin sekitar 155 cm. sangat mungil untuk ukurannya. Rambutnya yang pirang lurus serasi dengan wajahnya yang mungil.
I’m Sorry. I’m late.” Katanya dengan terengah-engah seakan-akan dia baru saja berlari puluhan kilometer.
Oh well… next time don’t be late.” Tukas pak Conwell dengan sedikit marah.
Gadis itu mengangguk mengerti pada pak Brown dan pak Conwell. Kemudian matanya beralih menatapku. Aku tersenyum sopan padanya.
 “You’re Suma right? I’m Shelby Antonette. Just call me Shelb if you don’t mind.
Kujabat tangannya kembali. “Yeah, I’m Suma. Nice to meet you.”
Syuting berlangsung sekitar satu setengah bulan, Dalam film itu diceritakan aku dan Shelby menjadi pasangan kekasih. Shelby membantuku dan mengajarkanku berakting saat break syuting. Dia gadis yang cantik dan berbakat.
Selama satu setengah bulan aku mendapati diriku nyaman berada didekat Shelby. Dia gadis yang baik dan menyenangkan. Ramah dan juga lucu. Dia juga penyanyi namun dia lebih sering menjadi pemain film. Ia lebih berpengalaman dari pada aku. Ternyata usianya empat tahun lebih tua dari pada aku, namun ia bisa menjadi seorang gadis kecil yang lugu kadang-kadang.
30 Januari syuting film sudah selesai, itu berarti adalah hari ini. Aku berencana mengajak Shelby untuk makan malam setelah syuting selesai. Saat aku menanyakan kepadanya niatku dia menyetujuinya.
Kupejamkan mataku dan kuhirup nafas dalam-dalam. Shelby menatapku dengan pandangan bertanya saat kami tiba di restoran mewah di pusat kota London. Aku menatapnya tersenyum dan menggelengkan kepala. Memberi isyarat kepadanya bahwa aku baik-baik saja.
Kami berdua makan dalam keheningan. Sekali-kali kami berbicara. Apapun kami bicarakan. Setelah selesai makan dan aku mengantarnya pulang dengan mobil ferariku. Saat tiba didepan rumahnya aku merasakan de javu. Buru-buru kuguncang jauh-jauh pikiran itu.
Aku menggenggam tangannya dan kutatap matanya. Mata abu-abunya menatapku dengan penuh tanya. “Shelb, um… there was something I want to say.
Yeah, what is it?” Jawabnya lembut.
Kuhirup nafas dalam-dalam. Mungkin ini saatnya. “Shelb, I love you all my heart. But, if you don’t-
Ditutupnya mulutku dengan jarinya. “I love you too.” Jawabnya.
“Aku mencintaimu Shelb.” Kataku. Dia tersenyum pada kata-kataku. Dia mengerti apa yang aku ucapkan. Bahasa indonesianya mungkin tidak begitu bagus. Namun dia bisa mengucapkannya kembali.
“Aku… juga…” Jawabnya mengerutkan kening memikirkan kata-kata yang dia ucapkan kepadaku. “Tidak salah… right?”
Aku tertawa. “Tidak. kau benar. Now, get some sleep. Kau terlihat lelah.”
Dia mengangguk. “Love you.” Bisiknya.
Aku tersenyum mencium pipinya dengan lembut. “Me too.” Bisikku.
Kukendarai mobilku pulang. Aku dan Shelby berpacaran sekarang. Namun kenapa itu sedikit aneh. Aku tidak begitu bahagia. Seperti ada sesuatu yang salah. Namun aku tidak bisa menemukan apa itu.
Aku hanya mendesah. Ini saatnya aku berusaha movin on dan berusaha untuk mencintai orang lain. Saat aku mengatakan kepada Kenzie bahwa aku dan Shelby berpacaran, dia sangat senang sekali untukku. Mengatakan bahwa aku pantas untuk mendapatkan kebahagiaan.
Kesibukan aku dan Shelby membuat kami berdua jarang bertemu. Walaupun begitu, aku sebisa mungkin menelepon Shelby setiap hari dan menanyakan apa yang dia kerjakan. Atau aku mengiriminya bunga. Mudah sekali berbicara dengan Shelby walaupun ditelepon. Cerianya membawa efek bagiku untuk ikut tertawa. Aku mulai mencintai Shelby.

Sesekali aku mengajaknya makan malam. Atau hanya mampir kerumahnya dan menonton film atau berkaraoke bersamanya. Semua begitu mudah aku merasa. Seakan semua beban terlepas dari pundakku saat bersama Shelby. 

A/N : merupakan cerita lama yang hanya tersimpan di memori externalku. :) semoga suka. dan stop mem-plagiat!!! hargailah karya oranglain.

Minggu, 25 Januari 2015

KISAH TAK SEMPURNA

Bagian 1

Kisah Tak Sempurna (Bag. 1)
“Maafkan aku. Aku mencintaimu namun tidak seperti itu. Aku mencintaimu seperti aku mencintai kakakku. Aku tidak mencintaimu sebagai pacar.” Jawabnya menundukkan kepala.
Ucapannya terasa seperti pisau yang langsung menyayat hatiku. Aku berdiri terpaku didepan pintu rumahnya setelah aku mengajaknya nonton film dan makan malam. Kutatap wajah manisnya. Kutatap dia lekat-lekat. Aku tidak percaya apa yang baru saja dia ucapkan.
“Aku fikir kau mencintaiku Lila. Aku fikir kau—“ Aku tidak sangup lagi berkata-kata. Dia telah memberikanku harapan palsu. Setelah semua, dia masih mencintai Bima.
Dia mendesah pelan dan memalingkan muka. “Kau bisa mencari seseorang yang lebih sempurna daripada aku.” Ucapnya. “Aku tidak pantas untukmu.”
“Aku tidak mencari kesempurnaan. Aku mencintai kamu apa adanya.” Bujukku. Mengapa ini begitu sulit untuk meyakinkan hatinya. Seperti berusaha menjebol dinding beton.
“Tidak.” Jawabnya menggelengkan kepala masih tidak menatapku.
 “Tolong katakan sekali lagi kau tidak mencintaiku.” Ucapku meraih tangannya. Dia mendesah tetap tidak melihat mataku. “Tatap mataku dan katakan bahwa kau tidak mencintaiku.” Tuntutku lagi.
Dengan perlahan-lahan Lila menatapku kemudian menangis. Airmata jatuh dari mata indahnya. Aku tidak mengerti mengapa dia menangis. Seharusnya yang menangis disini adalah aku, bukan dia. Ingin rasanya aku mencium kedua matanya seperti saat dia tertidur menangis dulu.
Dia menarik tangannya dari genggaman tanganku dengan tegas. “Tolong, jangan paksa aku untuk mencintaimu. Karena aku tidak mencintaimu.” Bisiknya.
Kata-katanya begitu dalam menusuk hatiku, hilang sudah kepercayaan hatiku bahwa dia mencintaiku. Hatinya memang bukan untukku. Hilang sudah keinginanku untuk memenangkan hatinya.
Dipejamkan kedua matanya erat-erat. Hanya airmata yang dia berikan kepadaku. Dibuka mulutnya namun ditutup kembali, seolah-olah dia berat untuk berkata-kata. Kuulurkan kedua tanganku mengusap airmata yang jatuh dipipinya.
“Aku tidak apa-apa.” Bisikku. “Aku bisa menerima jika kau hanya ingin aku menjadi temanmu. Kita bisa berteman seperti biasa.”
Harus aku akui kalau aku tidak bisa jauh darinya. Harus aku akui kalau aku tidak bisa membencinya. Perlahan-lahan dia membuka mata indahnya. Menatapku dengan sedih. Kedua tangannya yang mungil mendorong dadaku pelan. Membuatku mundur selangkah. Dengan refleks kuraih kedua tangan kecilnya.
“Hey. Untuk apa itu?” Tanyaku lembut berusaha untuk tidak marah padanya.
Dia menundukkan kepala. “Kita tidak bisa berteman.” Jawabnya pelan.
“Apa?!”
Apa maksudnya kita tidak bisa lagi berteman? apakah dia ingin aku menjauh darinya? Aku tidak bisa melakukan itu.
“Lepaskan tanganku. Kau menyakitiku.” Ucapnya dengan merintih.
Aku tidak menyadari bahwa aku menggenggam kedua pergelangan tangannya dengan erat. Kutarik nafas dalam-dalam. Perlahan aku melepaskan cengkeramanku.
“Maafkan aku. Apakah kau terluka?” Kataku dengan panik. Bagaimana bisa aku menyakitinya? Bodoh. Kau sangat bodoh Arjuna.
Dia menggeleng kepala pelan. Mengusap pelan pergelangan tangannya, dia menatapku. Arimata mulai terbentuk dari mata indahnya. “Kita tidak bisa berteman.”
Kutarik nafasku dengan berat. Dia selalu membuat ini menjadi begitu sulit.
“Berikan aku alasan kenapa kita tidak bisa berteman? berikan aku alasan yang membuatku mengerti.” Kataku berusaha untuk tidak marah padanya.
Lila menatapku dengan sedih. Airmata masih menggenang dimata indahnya. Digelengkannya kepala dengan pelan. “Karena aku tidak ingin kau masih berharap.”
Aku tertawa hambar padanya. “Apakah kau masih mencintai Bima?”
“Jangan membawa-bawa Bima dalam hal ini.” Ucapnya datar namun tiba-tiba wajahnya menjadi bersalah. “Maafkan aku. Aku tidak bisa mencintaimu. Tolong kau mengerti.”
Kupejamkan mataku dan menghela nafas dengan berat. “Aku mengerti. Aku mengerti kalau kau tidak mencintaiku.”
“Semua sudah selesai. Kita bisa menjalani hidup kita masing-masing sama seperti saat kita belum bertemu sebelumnya.” Ucapnya tersenyum sedih.
Aku jatuh berlutut didepannya memohon. Sekali lagi untuk meyakinkannya agar bisa merubah jalan fikirannya. Matanya melebar karena terkejut.
“Tolong Lila. Tidak bisakah kau merubah fikiranmu?” Pintaku.
Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Dia menggelengkan kepala sebagai jawaban dari permintaanku.
Sekuat tenaga aku berdiri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak jatuh didepannya. Sia-sia aku berusaha meyakinkannya. Sia-sia aku berusaha merebut hatinya. Kuhirup nafas dalam-dalam. Sekali lagi kutatap mata indahnya. Beginilah aku akan mengingatnya. Beginilah aku akan mencintainya. Aku tidak akan berhenti mencintainya sampai kapanpun. Tidak akan pernah berhenti untuk menyayanginya. Tidak akan pernah berhenti untuk merindukannya disetiap kesendirianku.
“Baiklah.” Kataku menatapnya dengan sungguh-sungguh dan sakit hati.
Kutatap lagi wajahnya. Matanya, pipinya, hidungnya, bibirnya dan rambutnya. Semua darinya menunjukkan keindahan bagiku. Kuulurkan kedua tanganku menyentuh kedua pipinya yang basah oleh airmata. Kuusap dengan perlahan airmatanya. Dipejamkan kedua matanya dan dia mendesah terdengar sedih.
I can’t stop loving you until the end.” Kataku pelan kemudian melangkah pergi menjauh darinya dan tidak melihat kebelakang lagi.
Aku berjalan cepat menuju mobil yang ku parkir di depan gang rumah sewaannya. Kuputar musik cadas dengan suara keras melalui Ipod yang aku hubungkan ke tape di mobilku. Berusaha untuk menjauhkan bayangan wajahnya dalam pikiranku. Kukendarai sedan BMW hitamku pulang kerumah dengan kecepatan penuh. Beruntung malam ini jalan-jalan begitu lengang.
Aku menaiki tangga menuju ke kamarku setelah aku tiba dirumah. Dengan tergesa-gesa aku memasuki kamar. Kubuka lemari pakaian dengan kasar kemudian menarik keluar beberapa koper besar yang kumiliki. Kumasukkan semua pakaianku ke koper dengan terburu-buru. Perkataannya tadi masih terngiang di pikiranku. Semua sudah selesai. Kita bisa menjalani hidup kita masing-masing sama seperti saat kita belum bertemu sebelumnya. Aku akan melakukannya dengan segera jika itu yang Lila mau. Aku akan melakukannya sekarang juga. Lagipula aku tidak bisa berdiri disini melihat Lila dengan orang lain. Jika aku tidak bisa mendapatkan Lila maka aku harus pergi sejauh mungkin dan tidak akan kembali.
“Kakak?” adikku Sinta terbangun. Aku tidak menyadari Sinta tidur di kamarku.
“Sayang, Kau bangun? Maaf kakak membangunkanmu ya?” Ucapku kemudian berjalan menghampirinya, duduk dipinggir tempat tidur. Berusaha untuk bersikap baik padanya.
Dia mengusap matanya dengan kedua tangannya dan mengangguk. Saat dia tahu semua koperku penuh dengan pakaian dia menangis dengan keras.
“Kakak mau pergi? Kakak mau kemana?!” Tanyanya menangis.
Kutarik dia kedalam pangkuanku kemudian memeluknya. “Shhh…. Kakak cuma mau liburan.”
Tangisannya semakin keras mengetahui bahwa aku akan benar-benar pergi. Ayah dan Bunda memasuki kamarku.
“Ada apa sayang?” Bunda memandangku kemudian Sinta yang menangis dipangkuanku.
“Bunda!” teriaknya berjuang untuk turun dari tempat tidurku. Setelah aku menurunkannya, seketika itu pula dia berlari dan memeluk Bunda.
“Kau mau pergi kemana nak?” Tanya ayah, berjalan menghampiriku dan menepuk bahuku.
“Aku ingin liburan Yah. Aku akan pergi besok pagi.” Jawabku datar. Kalau bisa aku akan pergi sekarang. Namun mengetahui Sinta seperti itu, sulit bagiku untuk mengucapkan salam perpisahan padanya.
“Apakah dengan terburu-buru?” Tanya Ayah dengan heran. “Kau tidak ingin ikut pesta kelulusan?”
“Itu hanya pesta kelulusan.” Jawabku mengangkat bahu. “Setidaknya aku sudah tahu kalau aku sudah lulus.” Aku benar-benar tidak perduli lagi pada pesta kelulusan.
“Bisakah kau mengundurkan liburanmu? Setidaknya kau bisa datang untuk pesta kelulusanmu Juna.” Bujuk bunda.
“Aku tidak perduli bunda.  Aku benar-benar tidak perduli.” Kataku seraya merapikan pakaian di koperku.
Bunda tersenyum mengerti. “Baiklah jika itu yang kau mau.” kemudian berjalan keluar kamar bersama Sinta dalam gendongannya.
Ayah berjalan menghampiriku dan duduk di ujung tempat tidur.
“Apa ada sesuatu yang mengganjal pikiranmu nak?” Tanyanya tanpa berbasa basi.
Aku hanya menggeleng kepala menutup koperku dan menjatuhkannya di lantai. Kulepas t-shirt putih yang kupakai, melemparkannya kesudut kamar tidak perduli. Kurebahkan tubuhku ditempat tidur. Aku masih memikirkan apa yang Lila ucapkan padaku. Apakah ada sesuatu yang dia rahasiakan padaku? Setiap kata-kata yang diucapkannya itu seakan menempel di kepalaku. Aku ingin sekali melupakan perkataannya. Namun tidak bisa. Isi kepalaku seolah-olah sudah penuh terisi akan perkataannya yang menyakitkan.
 “Kau tahu, saat ayah muda ambisi ayah sangat besar. Ayah akan melakukan segala cara agar keinginan ayah tercapai. Termasuk mendapatkan hati ibumu.” Ujar ayah. Aku mendengus tidak menanggapi, sudah tahu kemana arah pembicaraannya.
Ayahku tidak pernah bertele-tele dalam setiap perkataannya kepada siapapun. Termasuk kepada kami keluarganya. Jikalau bertele-tele berarti ada sesuatu yang ingin disampaikannya namun tidak ingin membuat orang yang mendengarkannya marah.
Aku melihat ayah berjalan kesudut kamar mengambil t-shirt yang kulempar tadi dan membuangnya kekeranjang pakaian kotor di kamar mandi yang berada tepat disamping tempat tidurku.
Sebelumnya aku menempati kamar dilantai satu. Kamar itu sangat besar membuatku merasa seperti sangat sendiri. Aku tidak menyukai kamar yang besar. Akhirnya kamarku dilantai satu ditempati Sinta. Aku menempati kamar dilantai dua ini yang seharusnya milik Sinta. Kamar ini setengah ukuran dari kamarku sebelumnya.
“Yah, apapun yang mengganjal pikiranmu, ayah hanya berharap kau tidak akan pernah menyerah.” Ujarnya saat aku tidak menanggapi ucapannya.
“Aku tahu.” Gumamku.
Ayah menepuk kakiku beberapa kali kemudian berjalan keluar kamar.
Kuacak-acak rambutku yang kini sudah panjang melewati bahu. Aku harap aku tidak menyerah. Aku harap aku bisa seperti ayah yang selalu punya ambisi yang besar. Ambisi yang bisa membuatnya sukses hingga sekarang. Mempunyai istri seperti bunda yang selalu mengerti dia. Mendukung ayah dalam keadaan apapun. Namun aku sudah menyerah. Aku sudah berusaha menarik perhatian Lila, tetapi dia memandangku berbeda. Kuusahakan memejamkan mataku. Melupakan Lila walau hanya beberapa jam saja.

Sinar matahari pagi menerobos melalui jendela kamar yang lupa aku tutup tadi malam. Dengan menyipitkan mata, aku bangkit dari tempat tidur kemudian berjalan lurus ke kamar mandi membawa pakaian yang akan aku pakai yaitu kaos v-neck biru tua dan celana jeans kebanggaanku. Kupandangi wajahku sendiri dicermin kamar mandi. Diriku yang berbeda. Lingkaran hitam kecil dikedua kelopak bawah mataku yang tidak aku sadari kapan terjadi. Mataku yang merah. Aku mengangkat bahu tidak perduli. Toh nanti akan hilang sendiri. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku meraih jaket kulit cokelat muda yang ada dimeja belajarku kemudian berjalan keluar kamar menarik dua koper besar bersamaku.
Kupandangi kamarku sekali lagi sebelum menutup pintu. Lantai kamar dilapisi kayu yang terbuat dari jati. Tempat tidur ukuran king dengan warna senada dengan wallpaper abstrak yang berwarna cokelat bergradasi putih. Ruanganku memang didominasi dengan warna cokelat dan putih. Dua warna favoritku. Aku mendengus dan menutup pintu dengan kasar. Menuruni tangga dengan setengah berlari.
“Kemana kau akan pergi?” Tanya bunda saat membantuku menempatkan koper dibagasi mobil. Ini masih pagi. Aku sengaja memilih waktu pagi hari. Aku tidak ingin John atau Jenni datang mencariku. Aku tidak tahu harus berkata apa pada mereka.
“Inggris.” Kataku sambil mengangkat koper lain kedalam mobil.
Tanpa harus berbicara banyak pada orangtuaku, mereka sudah tahu kenapa sikapku begini.
“Kau tidak akan pernah memperkenalkan bunda pada temanmu itu? Gadis yang membuat kau berubah.” Tanyanya bunda hati-hati. Aku memang berjanji padanya untuk memperkenalkannya pada Lila. Sepertinya rencanaku tidak berjalan mulus. Rencanaku gagal.
Aku menggeleng sebagai jawabannya. Maafkan aku bunda. Aku tidak bisa membawa orang yang telah merubah sikapku dan watakku padamu. Aku yang dulu arogan, tidak peduli, masa bodoh menjadi berubah saat bertemu Lila.
Aku menatap Sinta yang tersenyum manis padaku.
“Jaga ayah dan bunda ya sayang.” Kataku mengacak-acak rambutnya.
“Emm.” Angguknya semangat.
Aku kembali menatap ayah yang berdiri disamping bunda. Tangan kanan ayah melingkar di bahu bunda sementara tangan kirinya meremas lembut lengan Sinta. Aku memandang ayah dengan pandangan meminta maaf. Ayah mengangguk mengerti.
“Pulanglah saat kau bisa.” Ucap Bunda pelan padaku dan menutup pintu mobil.
Aku mengangguk pada mereka dan memberikan isyarat pada pak ahmad sopir keluarga kami untuk mengantarku ke bandara.
***
“Pak Ahmad bisa bantu saya?” Tanyaku pada sopir keluarga kami saat kami keluar gerbang kompleks perumahan.
“Bisa tuan muda. Apa yang bisa saya bantu tuan muda?” Tanyanya sopan melirikku melalui kaca mobil.
“Tolong bapak ke toko ini terus setelah dari toko ini bawa barangnya ke alamat rumah ini.” Kataku menyodorkan dua alamat yang harus di datangi pak Ahmad dan menuliskan apa yang harus dibelinya. Pak Ahmad menerima dengan sopan dan membacanya.
“Tuan muda yakin mau memberikan boneka ini?” tanyanya geli memandangi boneka apa yang akan dibelinya.
“Ya. Kado ulang tahun yang terlambat pada seorang teman.” Dengusku.
“Bisa tuan muda. Ada kartu ucapannya?” Tanyanya lagi saat membawa mobil berputar ke arah timur.
“Tunggu.” Jawabku. Aku menarik selembar kertas yang sengaja diselipkan ayahku disaku jok mobil jika ada sesuatu yang darurat untuk ditulis. Dengan tangan gemetar aku menuliskan kata demi kata. Setelah selesai, kulipat surat ucapan itu dan kuberikan pada pak Ahmad untuk disertakan bersama kadonya.
Pak Ahmad mengangguk mengerti dan tidak menanyakan apa-apa lagi. Ku raih ponsel dari saku celana jeansku untuk mengirim pesan singkat kepada Bima agar menjaga Lila.
Ponselku berdering. Bima membalas pesanku. Isinya pun singkat. Hanya berterima kasih padaku dan akan menjaga Lila dengan baik. Bahkan Bima tidak menanyakan mengapa aku mengirim pesan seperti itu.
Aku tersenyum. Hanya itu yang aku mau. Seseorang yang akan merawat gadis manisku. Lila mempunyai tubuh kurus dengan tinggi 160 cm, memiliki kulit putih tetapi pucat dengan rambut ikal yang mengalir hingga punggungnya, membuatnya begitu lemah dan rapuh. Seakan-akan setiap dia melangkah akan membuatnya terancam jatuh. Aku akan selalu mencintainya walaupun dia tidak mencintaiku.
Ku pejamkan kedua mataku. Mencoba menghilangkan visinya yang seolah-olah menari di depan mataku. Melupakan kenanganku bersama dia. Melupakan semua kenangan kami. Aku sangat mencintainya dan aku tidak bisa berhenti mencintainya. Cintaku tidak bisa berubah menjadi benci semudah aku jatuh cinta padanya. Yang aku lakukan adalah pergi menjauhinya untuk mencoba menyembuhkan hatiku.
***
London, Inggris
Akhirnya aku menjejakkan kaki di Inggris. Kuhirup dalam-dalam udara Inggris. “Selamat datang.” Gumamku pelan.
Aku memberhentikan taksi saat aku keluar dari bandara Heathrow. Memerintahkan supir untuk membawaku ke hotel yang murah. Aku harus berfikir kemana aku harus pergi. Namun untuk saat ini aku lapar. Setelah check in, kulangkahkan kakiku ke restoran yang berada di dalam hotel dan memesan makanan.
Aku melihat gadis manis berambut ikal dengan postur tubuh seperti Lila. Aku merindukannya. Aku mendesah frustasi. Kenapa bayangannya tidak pernah bisa pergi dari fikiranku. Kubuka bungkus rokok dan meraihnya. Kurogoh saku celana jeans-ku dan tas pinggangku mencari korek api. Namun tidak aku temukan dimana-mana.
“Sial.” Umpatku.
Tiba-tiba api kecil dari sebuah korek api muncul didepan wajahku. Seorang wanita dengan rambut hitam lurus sebahu dengan mata biru cerah serasi dengan kulitnya yang putih. Dia tersenyum  padaku dan menyodorkan korek api.
Thanks.” Gumamku kemudian menjentikkan korek api.
Kuhirup dalam-dalam rokokku dan menghembuskannya perlahan. Rasanya begitu menenangkan. Aku jarang merokok. Hanya saat-saat tertentu saja aku akan merokok. Aku tahu merokok itu tidak bagus untuk kesehatan. Dan aku selalu ingin menjaga tubuhku apalagi dengan sepakbola yang aku geluti di sekolah. Sekolah…. mengingatkanku padanya. Lagi. Aku mendengus kesal dan menghisap lagi rokokku. Menghembuskan asapnya dengan cepat.
Wanita itu masih duduk didepanku. “Kenzie.” Ucapnya mengulurkan tangan.
Aku berusaha tersenyum padanya dan mengulurkan tangan dengan malas. “Arjuna.”
“Indonesia?” Tanyanya lagi berusaha ramah.
Kenapa orang ini tidak hanya meninggalkanku sendiri dengan tenang.
“Yeah. Kenapa?” Tanyaku lagi menjawabnya menggunakan bahasa Indonesia.
“Aku juga berasal dari sana.” Jawabnya dengan bahasa Indonesia yang lancar. “Tidak sepenuhnya.” Katanya mengangkat bahu.
“Oya?” Tanyaku dengan sedikit gembira. Mungkin orang tidak begitu buruk.
“Yeah. Ibuku berasal dari sana tetapi ayahku berasal dari London.” Jawabnya kemudian menyesap kopinya.
“Dimana kau tinggal saat di Indonesia?” Kataku mencondongkan tubuh kedepan.
“Aku tinggal di Bali selama tiga tahun saat umurku 10 tahun.” Jawabnya mengangkat bahu.
Aku mengangguk padanya dan tersenyum mengerti.
“Kau liburan?” Tanyanya.
“Yeah. Aku kira.” Jawabku datar.
“Aku fikir kau sedang menghindari sesuatu.” Ujarnya tiba-tiba.
Aku hanya mendengus dan menghisap rokokku lagi tidak menanggapi perkataannya. Menikmati setiap kepulan asap yang aku buat dari mulutku.
***
A/N : merupakan cerita lama yang hanya tersimpan di memori externalku. :) semoga suka. dan stop mem-plagiat!!! hargailah karya oranglain.