THAT MAN #1 by NELLE L'AMOUR
BAB 1
JENNIFER
“Truth or Dare, Jen,” tantang Chaz, satu-satunya teman gayku. “Apakah
kau pernah orgasme berkali-kali dengan Bradley?”
Bradley Wick adalah tunanganku.
Kita sudah bertunangan beberapa malam yang lalu meskipun cincin itu masih dalam
proses. Temanku tiba-tiba membawaku keluar ke Graystone Manor, salah satu klub terkenal
di Hollywood untuk berpesta. Grup yang ada di meja VIP kami termasuk teman
kampusku dan teman terbaikku di dunia, Libby Clearfield, saudari kembar Chaz.
Serahkan saja pada Chaz untuk mendapatkan kami masuk ke hal tidak mungkin-menjadi-masuk
ke tempat selebriti berkumpul. Kakak laki-laki Libby adalah salah satu dari
teratas-dan-perancang busana pendatang baru LA. Pintu terbuka untuk Chaz. Dunia
adalah tiramnya.
Chaz mengulangi pertanyaan seakan
aku mempunyai telinga yang tuli. Teman-teman disekelilingku ber-ooh dan aah.
Aku merasa diriku merona. Berubah warna menjadi margarita strawberry yang telah kuminum. Jawaban dari pertanyaan
itu berada diujung lidahku. Satu kata. “Dare.”
aku tidak mengatakannya. Truth : aku
tidak pernah orgasme dengan Bradley. Tidak sekalipun.
Wajah tampan kekanak-kanakan Chaz
bersinar. Dia tampak senang dengan responku. Helaan kecewa dari yang lain di
meja membuat jelas bahwa mereka sangat tertarik mendengarkan kehidupan sex-ku daripada melihat diriku sendiri
membuat kebodohan total. Terserah. aku pemain adil dan aku harus maju untuk
tantangan.
“Oke, jadi apa Dare-ku?” aku bertanya pada Chaz.
Kilatan jahat tercetak di mata
cokelatnya. “Kau harus mencium pria yang di sana.”
Apa? “Pria yang mana?”
“Pria itu duduk di meja untuk dua orang di sudut.”
Pandanganku mengikuti arah tunjuk
jarinya yang melewati kemewahan klub ramai, ke sudut meja dekat lantai dansa. Aku
melihat seorang pria duduk sendirian, punggungnya menghadap kearahku. Satu
tangannya miring ke atas, mungkin dia minum segelas cocktail atau makan
sesuatu. Setelan gelap yang dipakainya tampak terlihat mahal, dan meskipun
sulit mengukur berapa tinggi badannya, tegak postur dan lebar bahunya mungkin
lebih dari enam kaki dan besar. Rambut hitam tebal, bergaya trendi dengan
acak-acakan melewati kerahnya. Aku menyimpulkan dia dalam sekejap. Hidung belang
kotor yang mencari hubungan. Oke. Aku bisa menangani dia. Ini hanya Dare. Sebuah permainan konyol. Dan aku
mabuk.
Aku bangkit berdiri. Dan begitu
juga Chaz.
“Ayo buat ini menjadi tantangan nyata,” dia bersenandung dengan seringain
jahat. Dalam sekejap, dia menarik lepas dasi kotak-kotaknya, dan selanjutnya
aku sudah tahu, dasi itu terikat kuat menutupi mataku. Aku tidak bisa melihat
apapun. Meja berisi teman-temanku berubah menjadi gila, dengan wajah-sialan
berteriak untuk persetujuan. Oke. Jadi, tidak melihat, aku akan berjalan lurus
melintasi klub malam yang ramai ke meja pria itu, menemukan dia, dan kemudian menciumnya.
“Dibibir,” Chaz menginstruksi.
Gah! Apa yang kudapatkan untuk
diriku sendiri? “Tidak mungkin,” mohonku, suaraku serak oleh semua alcohol. Aku
kehilangan langkahku akibat dari banyaknya margarita yang kukonsumsi.
“Mungkin!” grup berteriak
serempak.
Untuk ketakukanku yang absolut,
Chaz memutarku beberapa menit. Saat dia berhenti, aku sangat pusing daripada pesta mabuk-mabukan selama
tiga hari. Kakiku bergoyang dan aku tidak tahu bagaimana langkahku. Kencang, irama
musik tekno bergetar-getar memukul telingaku.
“Akankah seseorang setidaknya
mengatakan kepadaku kearah mana aku berjalan?” tanyaku, tertatih diantara tawa
dan kecemasan. Aku terlalu banyak minum.
Seandainya tidak, aku akan lari dari keikutsertaan ini, penutup mata dan
semuanya.
Mencengkeram bahuku, Chaz menunjukkanku
arah mana targetku. Aku mengambil langkah kecil melalui sepatu hakku, temanku
memanduku dengan tawa yang membahana. “Ya itu … di kanan … tidak di kiri … kau
semakin dekat ….”
Jika aku tidak tepat, aku akan
merasa sangat malu, meraba-raba, dan tersandung di klub bagus ini, dengan mata
tertutup. sepanjang jalan, aku merasa beberapa gadis berdada besar, menjatuhkan
botol dari sesuatu yang sangat mahal, dan menabrak pelayan yang membawa nampan.
Sesungguhnya, ini tidak terlalu buruk mengingat betapa rawan kecelakaan yang
kubuat. Sebagian besar dari pertemuan ini disambut dengan tawa, tetapi ada juga
beberapa apa-yang-terjadi. Melalui
penutup mata, aku dapat merasakan orang-orang mengamatiku. Kulitku terasa
gatal. Aku tahu sekarang apa yang dirasakan orang buta dalam hidupnya. Sebuah
rasa iba menghinggapiku.
“Hanya dua langkah ke kiri,” aku
mendengar Chaz berteriak.
Dengan tangan terjulur, aku
melakukan seperti yang dia arahkan, dan tiba-tiba tanganku sudah menyentuh
gumpalan tebal dari dari rambut halus. Ini harusnya dia. Dia tidak kaget atau
mengatakan satu kata.
“Cium dia, cium dia!” aku
mendengar teman-temanku berteriak dari kejauhan.
Oh, Tuhan. apa yang harus aku
lakukan? Aku tidak mau mengecewakan mereka atau aku tidak ingin hidup ini
jatuh. Aku sudah sejauh ini. Tanpa berfikir banyak, secara buta aku menjalankan
tanganku ke wajah korbanku. Kulitnya sangat lembut dengan rambut halus di dagu
yang tercukur rapi, dan rupa wajahnya berbeda dan terdefinisi—hidung mancung
yang benar-benar pria; kuat, dagu yang terbelah; sepasang bibir selembut
beludru. Aku menelurusi bibirnya, meraba mereka dengan tanganku, membangun keberanian
untuk menyentuh mereka dengan tanganku sendiri.
“Aku berharap kamu tidak masalah,
tetapi aku sedang bermain sebuah permainan dari Truth or Dare, dan aku harus menciummu.” Tuhan, bagaimana konyolnya
aku terdengar dan terlihat dengan mata tertutupku.
Aku menganggap kediaman korbanku
sebagai pertanda kalau dia akan bermain bersama. Oke, ini dia. Mencengkeram sudut dagunya diantara jariku, aku
menunduk untuk menciumnya. Tetapi sebelum aku menjatuhkan bibirku dibibirnya,
dia bangkit dan, dalam satu gerakan cepat, dia menjatuhkan bibirnya dibibirku.
Oh. My. God. Gelombang panas menyerangku. Ini adalah salah satu
ciuman seperti dalam film. Ganas, nikmat, bergairah. Membuka mulut dan oh
sangat mengonsumsi. Dan dia terasa hebat—rasa manis dari sampanye terasa
dinafasnya. Dia menggigit bibir atasku, memaksaku untuk memisahkan mereka, dan jatuh
kehangat lidahnya yang selembut beludru di dalam mulutku. Lidahnya otomatis
menemukanku dan mereka terjalin, mereka menari seakan untuk selamanya. Dia
menarik keras kuncir ekor kudaku, menghentakkan kepalaku kebelakang, dan
menggenggam ditangannya, mencabut akar rambutku. Sakit yang nikmat dipadukan
dengan nikmat ciumannya mengirimkan
sensasi erotis padaku. Setiap sarafku berpacu. Nafasku bertambah berat. Aku
sudah pusing, aku sekarang dalam batas tergila-gila. Aku tidak pernah berciuman
dengan pria seperti ini sebelumnya. Aku tidak ingin dia berhenti. Apa yang
salah denganku? Aku bahkan lupa sudah bertunangan.
Di latar belakang, aku dapat
mendengar samar-samar temanku bersorak dan bersiul. “Maju, gadis!” sangat
yakin, itu Chaz si kepala pemandu sorak.
Suara hatiku berkata padaku untuk
berhenti, tetapi tidak peduli berapa banyak aku menghendaki itu, aku tidak bisa
memisahkan bibirku darinya. Faktanya, aku memperdalam ciuman, dengan kerah
bajunya, aku menarik dia mendekat padaku. Bahan bajunya terasa mahal. Seperti
terbuat dari trilyunan benang katun dari Mesir. Segalanya tentang pria ini terasa
dan merasa hebat. Dia meremas kuat kuncir ekor kudaku. Aku mengerang di
mulutnya dan dia mengerang kembali. Tuhan, suara yang keluar dari
tenggorokannya terdengar seksi!
Dan secara tiba-tiba, secepat dia
memasukkan lidahnya ke mulutku, dia menariknya kembali. Setelahnya, dia
melepaskan cengkeramannya dirambutku. Aku terengah, frustasi untuk meminta
lebih.
“Tunggu!” aku berteriak, tanganku
menggapainya. Alih-alih mencari dia, aku mendapati diriku menjatuhnya sebuah
gelas dingin. Indra penciumanku yang tinggi mengatakan padaku kalau itu adalah
sampanye miliknya.
“Aku minta maaf,” kataku serak,
berjuang untuk melepaskan ikatan dasi yang kuat. “Aku akan membayarmu yang
lain.” Akhirnya, aku melepaskan dasi itu. Aku berkedip beberapa kali. Dia sudah
pergi, dan aku merasa sangat sakit sendirian. kemana dia pergi? Mataku dengan
bingung mencari diantara keramaian, bergerak ke kiri dan kanan, tetapi dia
tidak bisa ditemukan dimanapun. Bahkan jika dia melihatku disuatu tempat,
menatapku tepat dimataku, aku tidak akan tahu karena aku tidak tahu bagaimana
rupanya.
Semua temanku sekarang berdiri
dan bertepuk tangan padaku. Aku hidup untuk berani. Berciuman dengan pria asing
dibibir. Ah, bibir itu!
Termangu, aku terhuyung kembali
ke grup dan berani untuk tidak mengatakan pada mereka bagaimana aku sangat
menikmati itu. Dan aku ingin lebih.
***
WARNING :
Cerita ini saya terjemahkan sendiri. Maaf jika bahasa yang saya terjemahkan masih jauh dari sempurna. Dan, jika diantara pembaca ada yang mengetahui kalau cerita ini sudah diterjemahkan dalam bentuk buku, tolong beritahukan saya baik-baik dan akan saya hapus jika terbukti. Tidak perlu heboh dan main keroyokan mem-bully saya. Karena saya menterjemahkan cerita ini langsung dari versi aslinya bukan menyalin ulang dari buku terjemahannya (kalaupun ada). Terima kasih.
temukan lanjutan cerita ini di wattpad.com dengan user@Yeni_Lestari87
temukan lanjutan cerita ini di wattpad.com dengan user