Rabu, 08 April 2015

THAT MAN #1 by NELLE L'AMOUR (sampel)

THAT MAN #1 by NELLE L'AMOUR 


BAB 1
JENNIFER


Truth or Dare, Jen,” tantang Chaz, satu-satunya teman gayku. “Apakah kau pernah orgasme berkali-kali dengan Bradley?”

Bradley Wick adalah tunanganku. Kita sudah bertunangan beberapa malam yang lalu meskipun cincin itu masih dalam proses. Temanku tiba-tiba membawaku keluar ke Graystone Manor, salah satu klub terkenal di Hollywood untuk berpesta. Grup yang ada di meja VIP kami termasuk teman kampusku dan teman terbaikku di dunia, Libby Clearfield, saudari kembar Chaz. Serahkan saja pada Chaz untuk mendapatkan kami masuk ke hal tidak mungkin-menjadi-masuk ke tempat selebriti berkumpul. Kakak laki-laki Libby adalah salah satu dari teratas-dan-perancang busana pendatang baru LA. Pintu terbuka untuk Chaz. Dunia adalah tiramnya.

Chaz mengulangi pertanyaan seakan aku mempunyai telinga yang tuli. Teman-teman disekelilingku ber-ooh dan aah. Aku merasa diriku merona. Berubah warna menjadi margarita strawberry  yang telah kuminum. Jawaban dari pertanyaan itu berada diujung lidahku. Satu kata. “Dare.” aku tidak mengatakannya. Truth : aku tidak pernah orgasme dengan Bradley. Tidak sekalipun.
Wajah tampan kekanak-kanakan Chaz bersinar. Dia tampak senang dengan responku. Helaan kecewa dari yang lain di meja membuat jelas bahwa mereka sangat tertarik mendengarkan kehidupan sex-ku daripada melihat diriku sendiri membuat kebodohan total. Terserah. aku pemain adil dan aku harus maju untuk tantangan.

“Oke, jadi apa Dare-ku?” aku bertanya pada Chaz.

Kilatan jahat tercetak di mata cokelatnya. “Kau harus mencium pria yang di sana.”

Apa? “Pria yang mana?”

“Pria itu duduk di meja untuk dua orang di sudut.”

Pandanganku mengikuti arah tunjuk jarinya yang melewati kemewahan klub ramai, ke sudut meja dekat lantai dansa. Aku melihat seorang pria duduk sendirian, punggungnya menghadap kearahku. Satu tangannya miring ke atas, mungkin dia minum segelas cocktail atau makan sesuatu. Setelan gelap yang dipakainya tampak terlihat mahal, dan meskipun sulit mengukur berapa tinggi badannya, tegak postur dan lebar bahunya mungkin lebih dari enam kaki dan besar. Rambut hitam tebal, bergaya trendi dengan acak-acakan melewati kerahnya. Aku menyimpulkan dia dalam sekejap. Hidung belang kotor yang mencari hubungan. Oke. Aku bisa menangani dia. Ini hanya Dare. Sebuah permainan konyol. Dan aku mabuk.

Aku bangkit berdiri. Dan begitu juga Chaz.

“Ayo buat ini menjadi tantangan nyata,” dia bersenandung dengan seringain jahat. Dalam sekejap, dia menarik lepas dasi kotak-kotaknya, dan selanjutnya aku sudah tahu, dasi itu terikat kuat menutupi mataku. Aku tidak bisa melihat apapun. Meja berisi teman-temanku berubah menjadi gila, dengan wajah-sialan berteriak untuk persetujuan. Oke. Jadi, tidak melihat, aku akan berjalan lurus melintasi klub malam yang ramai ke meja pria itu, menemukan dia, dan kemudian menciumnya.

“Dibibir,” Chaz menginstruksi.

Gah! Apa yang kudapatkan untuk diriku sendiri? “Tidak mungkin,” mohonku, suaraku serak oleh semua alcohol. Aku kehilangan langkahku akibat dari banyaknya margarita yang kukonsumsi.

“Mungkin!” grup berteriak serempak.

Untuk ketakukanku yang absolut, Chaz memutarku beberapa menit. Saat dia berhenti, aku sangat  pusing daripada pesta mabuk-mabukan selama tiga hari. Kakiku bergoyang dan aku tidak tahu bagaimana langkahku. Kencang, irama musik tekno bergetar-getar memukul telingaku.

“Akankah seseorang setidaknya mengatakan kepadaku kearah mana aku berjalan?” tanyaku, tertatih diantara tawa dan kecemasan.  Aku terlalu banyak minum. Seandainya tidak, aku akan lari dari keikutsertaan ini, penutup mata dan semuanya.

Mencengkeram bahuku, Chaz menunjukkanku arah mana targetku. Aku mengambil langkah kecil melalui sepatu hakku, temanku memanduku dengan tawa yang membahana. “Ya itu … di kanan … tidak di kiri … kau semakin dekat ….”

Jika aku tidak tepat, aku akan merasa sangat malu, meraba-raba, dan tersandung di klub bagus ini, dengan mata tertutup. sepanjang jalan, aku merasa beberapa gadis berdada besar, menjatuhkan botol dari sesuatu yang sangat mahal, dan menabrak pelayan yang membawa nampan. Sesungguhnya, ini tidak terlalu buruk mengingat betapa rawan kecelakaan yang kubuat. Sebagian besar dari pertemuan ini disambut dengan tawa, tetapi ada juga beberapa apa-yang-terjadi. Melalui penutup mata, aku dapat merasakan orang-orang mengamatiku. Kulitku terasa gatal. Aku tahu sekarang apa yang dirasakan orang buta dalam hidupnya. Sebuah rasa iba menghinggapiku.

“Hanya dua langkah ke kiri,” aku mendengar Chaz berteriak.

Dengan tangan terjulur, aku melakukan seperti yang dia arahkan, dan tiba-tiba tanganku sudah menyentuh gumpalan tebal dari dari rambut halus. Ini harusnya dia. Dia tidak kaget atau mengatakan satu kata.

“Cium dia, cium dia!” aku mendengar teman-temanku berteriak dari kejauhan.

Oh, Tuhan. apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau mengecewakan mereka atau aku tidak ingin hidup ini jatuh. Aku sudah sejauh ini. Tanpa berfikir banyak, secara buta aku menjalankan tanganku ke wajah korbanku. Kulitnya sangat lembut dengan rambut halus di dagu yang tercukur rapi, dan rupa wajahnya berbeda dan terdefinisi—hidung mancung yang benar-benar pria; kuat, dagu yang terbelah; sepasang bibir selembut beludru. Aku menelurusi bibirnya, meraba mereka dengan tanganku, membangun keberanian untuk menyentuh mereka dengan tanganku sendiri.

“Aku berharap kamu tidak masalah, tetapi aku sedang bermain sebuah permainan dari Truth or Dare, dan aku harus menciummu.” Tuhan, bagaimana konyolnya aku terdengar dan terlihat dengan mata tertutupku.

Aku menganggap kediaman korbanku sebagai pertanda kalau dia akan bermain bersama. Oke, ini dia. Mencengkeram sudut dagunya diantara jariku, aku menunduk untuk menciumnya. Tetapi sebelum aku menjatuhkan bibirku dibibirnya, dia bangkit dan, dalam satu gerakan cepat, dia menjatuhkan bibirnya dibibirku.

Oh. My. God. Gelombang panas menyerangku. Ini adalah salah satu ciuman seperti dalam film. Ganas, nikmat, bergairah. Membuka mulut dan oh sangat mengonsumsi. Dan dia terasa hebat—rasa manis dari sampanye terasa dinafasnya. Dia menggigit bibir atasku, memaksaku untuk memisahkan mereka, dan jatuh kehangat lidahnya yang selembut beludru di dalam mulutku. Lidahnya otomatis menemukanku dan mereka terjalin, mereka menari seakan untuk selamanya. Dia menarik keras kuncir ekor kudaku, menghentakkan kepalaku kebelakang, dan menggenggam ditangannya, mencabut akar rambutku. Sakit yang nikmat dipadukan dengan nikmat ciumannya mengirimkan  sensasi erotis padaku. Setiap sarafku berpacu. Nafasku bertambah berat. Aku sudah pusing, aku sekarang dalam batas tergila-gila. Aku tidak pernah berciuman dengan pria seperti ini sebelumnya. Aku tidak ingin dia berhenti. Apa yang salah denganku? Aku bahkan lupa sudah bertunangan.

Di latar belakang, aku dapat mendengar samar-samar temanku bersorak dan bersiul. “Maju, gadis!” sangat yakin, itu Chaz si kepala pemandu sorak.

Suara hatiku berkata padaku untuk berhenti, tetapi tidak peduli berapa banyak aku menghendaki itu, aku tidak bisa memisahkan bibirku darinya. Faktanya, aku memperdalam ciuman, dengan kerah bajunya, aku menarik dia mendekat padaku. Bahan bajunya terasa mahal. Seperti terbuat dari trilyunan benang katun dari Mesir. Segalanya tentang pria ini terasa dan merasa hebat. Dia meremas kuat kuncir ekor kudaku. Aku mengerang di mulutnya dan dia mengerang kembali. Tuhan, suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar seksi!

Dan secara tiba-tiba, secepat dia memasukkan lidahnya ke mulutku, dia menariknya kembali. Setelahnya, dia melepaskan cengkeramannya dirambutku. Aku terengah, frustasi untuk meminta lebih.

“Tunggu!” aku berteriak, tanganku menggapainya. Alih-alih mencari dia, aku mendapati diriku menjatuhnya sebuah gelas dingin. Indra penciumanku yang tinggi mengatakan padaku kalau itu adalah sampanye miliknya.

“Aku minta maaf,” kataku serak, berjuang untuk melepaskan ikatan dasi yang kuat. “Aku akan membayarmu yang lain.” Akhirnya, aku melepaskan dasi itu. Aku berkedip beberapa kali. Dia sudah pergi, dan aku merasa sangat sakit sendirian. kemana dia pergi? Mataku dengan bingung mencari diantara keramaian, bergerak ke kiri dan kanan, tetapi dia tidak bisa ditemukan dimanapun. Bahkan jika dia melihatku disuatu tempat, menatapku tepat dimataku, aku tidak akan tahu karena aku tidak tahu bagaimana rupanya.

Semua temanku sekarang berdiri dan bertepuk tangan padaku. Aku hidup untuk berani. Berciuman dengan pria asing dibibir. Ah, bibir itu! 

Termangu, aku terhuyung kembali ke grup dan berani untuk tidak mengatakan pada mereka bagaimana aku sangat menikmati itu. Dan aku ingin lebih.
***

WARNING :
Cerita ini saya terjemahkan sendiri. Maaf jika bahasa yang saya terjemahkan masih jauh dari sempurna. Dan, jika diantara pembaca ada yang mengetahui kalau cerita ini sudah diterjemahkan dalam bentuk buku, tolong beritahukan saya baik-baik dan akan saya hapus jika terbukti. Tidak perlu heboh dan main keroyokan mem-bully saya. Karena saya menterjemahkan cerita ini langsung dari versi aslinya bukan menyalin ulang dari buku terjemahannya (kalaupun ada). Terima kasih.

temukan lanjutan cerita ini di wattpad.com dengan user @Yeni_Lestari87